Jika kalian bertanya sudah berapa banyak tulisan yang sudah diketik oleh Jenni? Maka jawabannya tidak satupun kata tertulis di sana. Perempuan itu sibuk tersenyum dengan dagu yang ditopang oleh tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang bolpoin dan digigit oleh giginya.
Dua sudut bibirnya tidak berhenti untuk terus melengkung ke atas. Ah, dia bisa gila kalau diserang seperti ini terus. Mana bibirnya legit pula sama persis dengan kue kesukaannya. Kan, jadi nagih.
Ia masih tidak menyangka bahwa bos dudanya itu dengan sabar menunggu dia di basement. Hal berikutnya yang tidak pernah ia sangka dan hampir membuat jantungnya lepas dari tubuhnya, pria itu tiba-tiba masuk dan menciumnya. Jenni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan malu. Sial, lumatan bosnya itu begitu melezatkan. Lebih enak daripada sandwich Mbok.
Telepon berdering membuat Jenni terlonjak kaget. Lebih kaget lagi saat dia melihat layar laptop nya mati karena terlalu lama dianggurkan dan ketika dinyalakan layarnya hanya berwarna putih bersih seperti kertas hvs. Mam to the puss.
"Selamat siang dengan Jenni is--. Sekretaris Bapak Arya di sini. Bisa dibantu?" Tuh, kan. Jenni jadi keceplosan.
Harusnya bos dudanya tidak usah terlalu baik dan bersikap seperti tadi kan, jadi baper. Khayalan Jenni terbang terus ke langit.
"Ke ruangan saya!!"
"Eh."
Telepon di atas meja yang sudah ditutup tidak bisa membuat Jenni menjawab perkataan bosnya. Ia hanya menatap nyalang telepon tersebut dengan mata yang mengerjap lucu. Butuh beberapa detik hingga akhirnya telepon itu berdering lagi. "Jenni, masuk!!"
Telepon ditutup dan Jenni bergegas beranjak dari duduknya. Yang tadi saja belum sembuh, masa mau ditambah lagi? Bukan ciumannya, tapi kejutannya!! Pikiran Jenni terbang ke kemana-mana.
Jenni membuka pintu ruangan Arya perlahan. Menarik kakinya memasuki ruangan pria yang sibuk menulis sesuatu. Melihat bagaimana tampannya pria di hadapannya mampu membuat kaki Jenni berhenti spontan.
"Saya sudah siapkan makan siang untuk kita," ujar Arya sambil menolehkan kepalanya ke kiri.
Jenni menoleh terkejut. "Pak, kalau mau kasih kejutan satu-satu, dong. Jangan keroyokan begini! Ini jantung manusia, bukan jantung pisang. Bisa loncat kalau kayak gini terus!"
Jenni menghentakkan kaki kesal, tapi bibirnya terlipat ke dalam mengulum senyum. Arya hanya geleng-geleng melihat tingkah Jenni yang selalu berhasil membuat suasana hatinya membaik.
"Mau makan atau tidak?" Arya berjalan menuju sofa yang berada di sebelah kiri mejanya.
"Mau, dong!! Rezeki tidak boleh ditolak." Rezeki bukan hanya makanan, karena bisa duduk dan makan dengan bos gantengnya juga rezeki yang berlipat ganda. Apalagi kalau ada adegan seperti di mobil tadi. Jenni tersenyum sambil menutup wajahnya dengan satu tangan.
"Makan, Jenni. Jangan berpikir aneh-aneh," tegur Arya membuka paper bag di atas meja tapi sebelumnya mengetuk kening Jenni.
"Memangnya Bapak tahu apa yang sedang saya pikirkan?"
"Tahu."
"Apa coba?" Jenni mendekatkan tubuhnya pada Arya yang mendengus melihat tingkah Jenni.
"Makan dulu, nanti kita lanjutkan."
"Itu artinya Bapak tidak tahu, makanya mengelak."
"Kamu mau saya jawab dengan apa?" Kini Arya balik mengintimidasi Jenni. Matanya mengunci kornea perempuan yang mundur dan tertabrak sandaran sofa. Bahkan sudah menjepit tubuh Jenni dengan sofa sehingga perempuan itu tidak bisa bergerak.
"Bapak mau ngapain?" tanya Jenni dengan mata melotot. "Bb-Bapak nggak bisa cium-cium saya seenaknya. Kita bukan muhrim!!"
"Tapi kamu suka."
"Kalau ada karyawan yang melihat bagaimana?"
"Pintu sudah saya kunci."
"Saya karyawan, Bapak."
Arya mundur mendengar perkataan Jenni. Memikirkan perkataan Jenni yang sangat benar adanya. Tidak bisa ditampik ataupun ditolak. Statusnya dengan Jenni hanya sebatas karyawan dan bos. Sialnya, ia tidak bisa berjauhan dengan karyawannya yang satu ini. Bahkan ia resah saat tidak melihat Jenni barang sebentar saja.
Namun, menjadikan Jenni pacar juga bukan hal baik. Umurnya dengan Jenni terpaut jauh. Ia sadar kalau selisih umurnya dengan Jenni hampir setengah umur perempuan itu. Berpacaran sudah bukan usianya, menikah?
Tanpa kata Arya melanjutkan kegiatan membuka paper bag lalu mengeluarkan isinya. Jenni menatap takjub pada kotak makan yang berisi nasi padang dengan sambal hijau.
"Bapak tahu darimana makanan kesukaan saya?" Jenni mendekat mengambil kotak yang sudah dibuka Arya. "Hemm, nasi padang pake kikil dan sambal hijau yang banyak."
"Selera kamu lokal sekali, Jenni." Arya membuka kotak satunya dan mulai menyendok nasi ke mulutnya.
"Soalnya nih, Pak, yang bule belum tentu lebih hot."
Arya tersedak mendengar jawaban Jenni yang melenceng jauh. Pria itu terbatuk-batuk sambil memukul dadanya. Beruntung ada satu botol air putih di depannya. Dengan segera Jenni membuka dan memberikannya pada Arya.
Setelah berhasil membasahi tenggorokannya yang panas, Arya menggeram kesal menatap Jenni yang terus mengunyah tanpa dosa. Sebenarnya Jenni tahu jika ia ditatap intens oleh Arya tapi perempuan itu memilih tidak peduli. Bahkan sengaja makan dengan gerakan bibir sensual.
Arya melengos. Melihat Jenni semakin membuatnya kepanasan. Keduanya makan dalam diam. Karena Jenni tidak betah dengan kondisi yang sunyi senyap ia membuka obrolan.
"Pak, sebentar lagi kan, jadwal Bapak keluar kota. Bapak sudah pesan hotel?"
Arya hampir tersedak lagi karena pertanyaan Jenni yang tidak perlu jawaban. "Belum."
"Ihh, pesan sana, Pak. Nanti keburu sold kamar hotelnya."
"Itu kan tugas kamu, Jenni."
Jenni terkejut. Matanya berputar mencoba mengingat apa itu ada dalam keterangan kontrak atau tidak.
"Memang tidak ada di dalam. kontrak, tapi itu tugas kamu."
"Eh." Jenni gelagapan. Apa memang seribet itu tugas sekretaris? "Terus Bapak ngapain? Kalau yang nyiapin materi saya, yang pesan hotel juga saya."
Arya tidak menjawab. Pria itu berdiri menghadap kaca dan melihat pemandangan di bawah sana yang sibuk dengan setiap urusannya sendiri. Berhubungan dengan Jenni memang mampu membuat kondisi hatinya membaik, tapi berlama-lama dengan Jenni juga membuatnya pusing sendiri.
Namun, jujur saja kepolosan Jenni membuat Arya gemas. Perempuan yang terlihat angkuh dan tegar dari luar ternyata polos dan lugu. Perempuan yang terlihat seperti pemain antagonis nyatanya berhati lembut. Arya tertawa kecil, ia tidak tahu kenapa bisa terjebak dengan Jenni, tapi Arya bersyukur dengan kehadiran Jenni.
"Pak, kenapa Bapak belum menikah lagi?"
"Kenapa kamu menanyakan itu?"
"Penasaran saja."
"Bagaimana kalau kamu saja yang bersanding dengan saya?"
Hidupku sedang tidak baik-baik saja...
Semoga dengan membaca ini kalian menjadi lebih baik dan semangatt.
Jenni memang se-absurd itu, tapi itu yang membuat duda Arya jatuh cinta. Jangan ditiru ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomanceDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...