Memiskinkan diri

4.3K 180 41
                                    

"Inget tujuan lo. Awas kalau balik arah!" ancam Luna. Matanya mendelik dengan telunjuk berdiri sempurna di depan wajah Jenni yang berkedip beberapa kali. Wajahnya terlihat garang dengan mulut yang menyempit setelah mengancam.

"Emang nggak boleh puter balik?" tanya Jenni polos. Ia sudah siap dengan setelan kantor bermotif garis horisontal warna merah maroon yang memperjelas warna kulit putihnya.

"Nggak boleh, Jenni!"

"Tapi bokap Adit cakep, Lun," ucap Jenni melas. Berharap ada rasa kasihan. "Badan pelukable--"

"Mulut hajarable. Udah deh, fokus sama tujuan lo. Lagian, gimana bisa lo berubah pikiran, sih?" tanya Luna dengan mata menyipit curiga.

Berubah pikiran? Yang punya ide ninggal Om Arya pas sayang-sayangnya kan, dia? Sedangkan Jenni dari awal hanya kesal. Ia sangat kesal karena ditolak mentah-mentah di pertemuan pertama untuk jadi calon mantu bahkan tanpa sungkan pria hampir tua itu membandingkan dengan pelayan. Itu saja. Jenni kesal. Bukan berniat seperti ini.

Apa dia jujur saja kalau menyukai wajah tampan itu sejak pandangan pertama? Bahkan setiap ia memejamkan mata, ia masih dengan jelas dapat mengingat postur wajah Om Arya. Mata, hidung, alis dan ketegasan wajahnya mampu membuat mata indahnya tak berkedip. Hanya wajahnya. Ingat, wajahnya. Bukan yang lain.

"Bukannya berubah pikiran, Lun."

"Terus?"

"Tau ah. Gue udah oke, belum?"

"Lo cantik setiap saat setiap waktu. Jadi, semangat dan bersikaplah bijak. Karena gue yakin banget, tuh Om Om bisa baca niat lo sekali pandang," ucap Luna yakin.

Sebenarnya Luna melakukan ini karena kesal sahabatnya diperlakukan seperti itu oleh orang tua Adit lagipula memohon cinta Adit akan percuma karena terhalang restu papanya. Jika seperti itu, kenapa bukan orang yang memberi restu yang ia taklukkan?

"Ngeri banget."

"Makanya jangan gugup. Santai dan jadi Jenni seperti biasa. Oke? Sekarang gue anterin lo," ujar Luna mengambil tasnya dan berniat pergi. Melihat Jenni yang tidak bergerak, Luna menghela nafasnya, "oke, lo berangkat sendiri."

"Inget juga, lo harus sok polos. Jangan mengatakan apapun selain lo ingin kerja. Udah titik."

Luna sangat menyayangi Jenni. Ia akan berada di garda terdepan jika ada yang menyakiti sahabatnya. Ia dan Jenni sudah bersahabat sejak SMA. Sikap Jenni memang bar-bar, tapi sebenarnya dia anak yang baik dan peka. Ia tidak malu berteman dengan dirinya yang miskin. Bahkan kini membantu ekonomi keluarganya dengan memasukkan dirinya ke perusahaan milik papanya. Itu lebih baik daripada Jenni memberi uang secara percuma padanya.

Dan kejadian kemarin membuatnya ikut sakit hati juga kesal. Meski Jenni tak memperlihatkan tangisnya, ia yakin perempuan itu pasti sedih hanya saja tertutup dengan rasa kesalnya. Kesal tidak terima alasan penolakan tersebut.

Saat Jenni akan membuka pintu mobil, lengannya di tahan Luna. Ia menaikkan alis yang bermakna pertanyaan 'apalagi' "Berjanjilah, lo akan bahagia."

"Selama ada lo, gue selalu bahagia dan baik-baik saja." Keduanya berpelukan lalu Jenni memasuki mobilnya dan melesat menuju perusahaan Papa Adit.

🔷️🔷️🔷️

"Jennifer Houston umur dua puluh enam tahun. Lulusan S1 Manajemen di kampus negeri di jakarta dengan hasil memuaskan dan sekarang dalam proses prodi administrasi bisnis di salah satu kampus terbaik juga."

Jenni diam. Wajahnya menatap Arya dengan datar. Ia tahu ia sedang dalam proses penilaian. Jika satu saja gerakan bibir dan tubuhnya salah maka semua gagal. Berhasil duduk di kursi panas ini saja dia sudah sangat beruntung, apalagi diterima?

Arya sendiri diam tidak melanjutkan membaca lembaran itu. Daripada membaca lamaran kerja mantan calon menantunya itu ia lebih memilih mengamati Jenni yang terlihat dewasa, anggun dan cantik dengan setelan kerja seperti ini. Yang menganggu Arya bukan itu, tapi apa tujuan Jenni melamar kerja di tempatnya sedangkan ia memiliki sebuah perusahaan sukses beserta pabriknya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Pertanyaan itu muncul setelah beberapa detik Arya diam mengamati.

"Melamar kerja."

Arya tersenyum sangsi. Mengangkat satu sudut bibirnya. "Kursimu terlalu empuk untuk pindah kesini."

"Sekaligus belajar."

"Ini bukan tempat les atau kampus tempat belajar. Apa yang kamu lakukan? Menambah pengalaman? Atau mengamati?" tebak Arya. Ia masih belum beranjak dari kursi kebesarannya dan intens menatap Jenni. Mencoba membaca raut wajah dan pikiran perempuan di depannya. "Lagipula mahasiswi terbaik seperti kamu masih butuh pelajaran seperti apalagi?"

"Saya ingin bekerja."

"Bahkan saya yakin gaji dari perusahaan ini tidak ada apa-apanya dengan uang jajan kamu." Menghela nafas lelah, Arya kembali berbicara, "Adit belum mau bekerja kalau kamu mau tahu. Jadi percuma kamu melamar kesini. Dan saya tidak akan memberikan restu padamu meski kamu disini memberikan kerja keras terbaikmu."

"Saya tidak peduli. Tujuan awal saya kesini untuk bekerja."

"Kalau saya menolak?" Arya melipat tangannya. Terus mengamati tanpa berkedip.

"Saya akan melamar di kafe Bapak."

"Kamu ... jadi pramusaji?" Jenni mengangguk semangat. Matanya berbinar dengan penuh harap. Pula senyumnya yang tak kalah lebar dibandingkan lebar ruas jalan depan kantor.

"Apa yang sebenarnya kamu rencanakan anak manis?" Arya berjalan mendekati tempat Jenni berdiri. Iya, obrolan panjang tadi terjadi dengan posisi Jenni berdiri sedangkan Arya duduk. Tidak ada niat mempersilakan karena sekarang ini adalah moment investigasi.

"Saya hanya ingin bekerja."

"Bukan hanya disini tempat yang membuka lowongan." Arya terus menembak dengan kata-kata tajam. Tak membiarkan Jenni berkelit dan bernafas. Arya tersenyum remeh, Jenni salah masuk kandang.

"Saya ingin bekerja. Semoga Bapak berkenan menerima saya sebagai pegawai bapak." Jenni berbicara dengan menunduk. Membungkukkan sebagian badannya. Memberi rasa hormat dengan kepatuhan luar biasa. Benar-benar calon pegawai yang tahu sopan santun.

"Kalau saya tidak menerima kamu bagaimana?"

"Saya akan melamar di cabang bapak. Bukankah tadi saya sudah mengatakannya?"

Arya tersenyum penuh arti. Sekarang ia tahu tujuan perempuan di hadapannya ini. Sangat terlihat jelas. Dia mungkin menolaknya sebagai calon menantu, tapi jika sebagai karyawan dengan prestasi yang ia miliki ... terlalu berharga untuk disia-siakan. Menolaknya sebagai menantu memang tepat baginya, tapi sebagai karyawan? Maka dari itu Arya memilih mengikuti kemauan hati wanita itu dengan mengikuti permainannya.

Namun, tak semudah membalikkan telapak tangan. Jika ia sudah mengikuti jalan permainan Jenni, maka tidak salah bukan jika perempuan itu juga mengikuti permainannya?

Arya butuh satu hal lagi untuk memastikan sesuatu. Untuk membaca pemikiran Jenni dan untuk tahu tujuan perempuan itu sebenarnya.

"Maaf, Saya belum bisa menerima kamu," tegas Arya. Matanya menelisik ekspresi Jenni dengan teliti. Tak mau kehilangan satu gerakan apa pun.

"Baik. Tunggu surat lamaran saya di kafe, Bapak."

















Maaf banyak banyak ...
Bab ini aku revisi karena aku ngerasa alurnya kecepetan. Tapi, aku janji untuk rajin update mulai sekarang. Meski seminggu sekali, itu lebih baik daripada tidak bukan?

Sorry for typo and happy reading.

Merenggut Cinta Calon MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang