"Kamu yakin?"
"Tidak pernah seyakin ini."
"Kamu tidak bisa mundur, Jenni."
Arya mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Pria itu menyeringai membuat Jenni menahan nafas. Dua pasang mata itu saling tatap tanpa berkedip. Tanpa sadar kedua jantung di dalam kamar itu berdetak cepat, tak berirama dan tak bernada. Suasana kamar yang hening dan jauh dari hiruk pikuk orang membuat keuntungan berpihak pada Arya. Jenni menelan ludah kasar. Entah kenapa ia merasa sangat berdebar. Entah karena tak sabar menunggu sentuhan Arya atau karena merasa perasaannya terbalas.
Perlahan jari Arya terangkat menelusuri wajah Jenni dengan tatapan memuja. Menelisik tiap sudut wajah perempuan yang berada di depannya terpahat sangat sempurna. Jangankan jerawat dan bekasnya, bahkan kerutan saja tidak ada. Begitu mulus, glowing, shinning, shimmering dan splendid.
"Apa yang ada di otakmu? Jangan berpikiran mesum."
Arya meniup wajah Jenni membuat perempuan itu mengedipkan mata berkali-kali. Arya sendiri tertawa lepas karena berhasil menggoda Jenni yang sekarang salah tingkah dengan wajah merah meronanya.
"Bernafas, Jen," ucap Arya tertawa kecil. Tawanya sudah mereda. Pria itu sudah menjauh tapi tawanya masih tersisa di sela-sela menghapus air mata. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Ss-saya tidak berpikir mengenai apa pun," elak Jenni dengan suara putus-putus. Ia mengalihkan wajahnya guna menutupi pipinya yang merah melebihi lukanya.
"Saya percaya." Arya menganggukkan kepalanya. Jarinya melanjutkan kegiatan mengolesi salep di kulit Jenni.
"Ssshhh," ringis Jenni. Ringisan yang mirip desahan. Tanpa tahu bahwa sebenarnya Arya menahan hasratnya mati-matian. Ia harus bersikap profesional. Arya meniup luka Jenni dengan jari yang bergerak lembut. Anehnya, rasa sakit itu hilang berganti gelenyar aneh yang merambati tubuh Jennk.
"Ini akan membekas. Tapi dengan uangmu, saya yakin bekas ini akan cepat hilang," ujar Arya. Arya mengeluarkan suaranya susah payah karena dihadapkan dengan dua gunung besar milik Jenni yang berada tepat di wajahnya. Andai Jenni seumuran dengannya mungkin ia tidak akan pikir panjang.
Jenni mendengkus mendengar ungkapan Arya. Namun, hatinya tidak bisa berbohong kalau ia begitu bahagia bisa berada sedekat ini dengan bos dudanya. Melihat mata Arya yang terkadang curi pandang di kedua dadanya membuat Jenni tersenyum tanpa henti. Boleh dikatakan lukanya membawa berkah, bukan?
"Sudah selesai. Saya harus rapat." Arya meletakkan salep di nakas sebelah tempat tidur. Beranjak dari posisinya. "Beristirahatlah," ucap Arya mengusak rambut Jenni.
Spontan tangan Jenni meraih lengan Arya hingga pria itu terduduk di depannya. Menarik wajah Arya lebih dekat lalu mendaratkan kecupan di bibir yang dari awal sudah menarik perhatiannya.
Hanya sekadar kecupan. Jenni menempelkan bibirnya di bibir Arya lebih lama dari perkiraan. Saling tatap di jarak yang sangat dekat membuat nafas keduanya saling bertabrakan. Meninggalkan rasa hangat di kedua wajah yang tak berjarak itu. Hidung dan dahi keduanya saling bersentuhan. Membaca perasaan masing-masing dengan sentuhan.
Mata yang tak berkedip itu seolah bisa saling membaca keinginan pemiliknya. Maka tak perlu menunggu lama bibir keduanya bertaut. Awalnya hanya lumatan kecil karena masih ada keraguan dalam hati masing-masing, tapi lama kelamaan lumatan kecil itu menjadi rakus. Saling menuntut dan tidak ada rasa puas. Setelah tahu Jenni kehabisan nafas, Arya melepaskan tautan bibir mereka.
"Apa yang kamu pikirkan?" Arya berbisik dengan kening saling menempel. Ia berbicara di tengah deru nafas Jenni yang berlomba. "Saya tahu kamu selalu mencuri pandang pada saya. Saya juga tahu kamu sering salah tingkah dan merona karena obrolan kita. Saya juga tahu kamu mencari tahu banyak hal tentang saya. Jadi, apa saya bisa menyimpulkan sesuatu?" tanya Arya datar.
"Eh." Jenni kaget karena semua tingkah lakunya diamati oleh Arya dan kini ia dikuliti. Wajah perempuan itu kembali salah tingka
Menarik Jenni supaya duduk di pangkuannya, Arya meletakkan kedua tangannya di pinggang Jenni. Selain mengikis jarak, ia juga ingin semakin dekat dengan perempuan itu. Ingin kembali merasakan bibir Jenni yang terasa manis dan candu. Dua gunung telanjang itu menempel sempurna di tubuh Arya menghasilkan panas dingin yang mungkin termometer akan pecah jika menempel.
"Saya sudah sebaik mungkin menahannya, tapi kamu malah memancingnya. Katakan padaku. Apa yang kamu inginkan?" tanya Arya tanpa basa-basi. Mengusap sudut bibir Jenni dengan ibu jarinya dengan gerakan sensual membuat Jenni semakin panas dingin.
"Ss-saya ... saya--"
"Sejak kapan kamu melakukan itu? Apa tujuanmu bekerja di sini?" Mata Arya masih menatap lekat tidak memutuskan. "Jawab, Jenni."
"Saya tidak punya tujuan."
"Hm?"
"Hanya ingin membuktikan pada Bapak bahwa saya bisa menjadi perempuan sukses tanpa nama orang tua saya," jelas Jenni yakin. Ia tidak mungkin mengatakan alasan utamanya, bukan? Sementara ia masih ingin menatap wajah tampan bosnya itu.
"Hanya itu?"
"Hanya itu. Memangnya Bapak pikir, apa?"
"Bukan karena kamu saya tolak jadi menantu?" Tembak Arya tepat sasaran. Menatap Jenni dengan satu alis terangkat.
"Memang saya marah. Setelah saya pikir mungkin Bapak menolak saya karena saya anak orang kaya yang manja. Jadi, saya bekerja di sini untuk membuktikan."
"Lalu?"
"Karena saya cantik, seksi dan cerdas, Bapak menerima saya. Bukankah begitu?"
Jenni mengalungkan tangannya di leher Arya. Menatap lekat pria yang mengusik hatinya semenjak hubungannya dengan Adit selesai. Jenni tahu bahwa Arya mulai berhasrat padanya. Terbukti dengan bongkahan keras dan hangat yanh berada tepat di pantatnya.
Menatap sayu Arya, Jenni mencoba menggerakkan tubuhnya perlahan. Menggigit bibir bawah dengan lidah yang menjilat membasahi bibir. Bajunya juga belum di kancing sehingga tubuh bagian depannya itu masih terekspos tanpa sensor.
Arya menggeram. Jenni tahu kelemahannya saat ini. Berusaha menekan hasratnya, Arya menutup mata sejenak. Mengambil nafas lalu mengeluarkan perlahan. "Kamu salah sasaran, Jenni."
Arya kembali meraup bibir Jenni yang kini terasa sangat candu. Kali ini dia tidak bisa bermain lembut. Jenni begitu memabukkan. Membuatnya mabuk kepayang. Arya melumat bibir atas dan bawah Jenni bergantian. Menggigit kecil supaya perempuan itu membuka mulut karena dengan begitu lidah Arya bisa masuk dan mengobrak-abrik mulut Jenni.
Jenni kehabisan nafas, ia mencengkeram bahu Arya hingga tautan mereka terlepas.
"Manis." Arya menjilat bibirnya. Menatap Jenni dengan tatapan yang sulit terbaca. "Apa ini ciuman pertamamu?"
"Bukan," sengit Jenni. Ia memicing kesal pada Arya, tapi tidak mengubah posisi duduknya.
"Kamu kaku."
"Bapak yang terlalu lihai."
Arya tertawa mendengar pernyataan Jenni. Perempuan di depannya ini begitu menggemaskan. Kalau boleh jujur Arya memang tertarik dengan Jenni sejak awal bertemu. Apa yang dikatakan perempuan itu benar bahwa kecantikan dan keseksiannya berhasil memikat dirinya. Buktinya ia mulai ketagihan dengan bibir tipis perempuan itu.
"Mulai sekarang bibir ini milik saya."
Jadi, chapter ini selesai tadi siang. Cuman puasa gini kan nggak enak kalau up siang. Jadi, sambil revisi typo, aku up sekarang.
Semoga suka dan sesuai harapan kalian.
Targetku selama puasa ini satu hari, satu bab. Ternyta eh ternyata, aku dapat job ghost writer lagi. Jadi doakan otakku lancar supaya bisa seimbang up nya.
Aku mau curhat sedikit. Ada yang nawarin aku ke Karya karsa. Menurut kalian gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomanceDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...