Tak punya alasan lain

1.7K 54 1
                                    

"Mau ke mana kamu?" 

"Eh, papi. Masuk, Pi." Jenni sedang memasukkan beberapa bajunya ke koper yang sudah disiapkan. Hanya satu koper besar karena disana ia akan membeli baju juga. Ya kali baju khas daerah sana tidak dibeli, kan sayang uang banyak yang dibawanya. Masa hanya disimpan di atm dan tidak dibelanjakan.

Kenan -- papi Jenni -- duduk di sofa kamar putrinya sambil menatap bingung. Ia memandang kamar yang berantakan. "Luna tidak bilang kalau kalian mau liburan." Seingatnya teman putrinya itu tidak mengatakan apa pun. Kenan yakin itu.

"Ini liburannya nggak sama Luna, Pi."

"Terus sama siapa? kenapa kamu nggak ijin papi?" Meskipun Jenni sudah dewasa, berumur dua puluh tujuh tahun, tetep saja ia seperti putri kecil baginya. Tidak diawasi sepenuhnya, tapi harus tahu kegiatan putrinya itu.

"Rencananya habis ini Jenni mau ke kamar papi buat minta ijin, kok. Masa iya, Jenni pergi nggak pamit papi. kalo papi kangen, gimana?"

"Mana ada ijin tapi baju sudah dikemas?" protes Kenan pada putrinya. Jenni tertawa kecil. Tidak tahu saja Kenan bahwa Jenni sedang mencari alasan yang tepat untuknya. Ia tidak mungkin jujur pada Kenan kalau ada pekerjaan luar kota bersama Arya, belum dijelaskan saja kemungkinan besar Jenni dikurung di kamar. Bisa-bisa ia langsung dipecat jadi anak. Jadi, sambil memikirkan alasan yang tepat Jenni mengemas bajunya. "Ini sama teman kampus, Pi. refreshing sebelum semesteran," kilah Jenni. 

"Kok kebalik?"

"Kebalik gimana, Pi?"

"Biasanya itu  kan ujian dulu baru liburan. Ini kenapa liburan dulu?"

"Oh, itu kan biasanya, Pi. Yang ini luar biasa, makanya kita bikin kebalik," jelas Jenni sambil menaik turunkan alis.

"Ada-ada saja kamu ini." Maklumlah dengan sifat protektif sang ayah karena selain Jenni anak tunggal, ia juga tidak punya siapa-siapa lagi selain putrinya semenjak sang istri meninggal. Sang istri meninggal karena sakit diabetes yang dideritanya. penyakit itu menggerogti tubuh istrinya hingga menjadi sangat kurus. "Berapa hari?"

"Tiga hari dua malam."

"Apa?!?! Kenapa lama sekali?"

"Namanya liburan, Pi. Kalo bentar ya pelajaran."

Kenan menghela napas. Putrinya selalu pandai menjawab. "Dimana?" Kan, apa Jenni bilang, papinya itu masih menganggap Jenni anak sd yang kemana pun harus memberi keterangan dengan  jelas dan detail.

"Villa, Pi. Di daerah Malang gitu katanya. Terus, rencananya anak-anak juga mau naik gunung." Kenan melotot mendengar jawaban Jenni, tapi dengan cepat Jenni menjelaskan, "tapi Jenni nggak ikut nanjak kok, Pi. Beneran!"

"Ck, mending kamu dikawal sama Pak Suryo. Udah yang paling bener itu."

Kini Jenni yang melotot. Apa-apaan dikawal. Bisa gagal total kebohongannya kalau ia dikawal. Belum lagi pekerjaannya yang baru saja ia rintis di kantor Arya, bisa hancur semua. Harga dirinya juga bisa tenggelam ke dasar lautan. Mana Pak Suryo itu orang kepercayaan Kenan dan tidak bisa diajak kompromi seperti body guard yang lain bisa mampus Jenni.

Oh tuhan, Jenni harus alasan apa lagi? Menggeram dalam hati otak Jenni sibuk mengarang alasan yang pas untuk Kenan.

"Pi," rengek Jenni. "Jenni ini udah umur dua puluh tujuh tahun, Pi. Bukan anak sd lagi. Masa iya papi utus Pak Suryo buat jaga Jenni." 

Jenni memasang wajah sedih dan kecewa. Padahal hatinya sedang berpacu menunggu jawaban Kenan. "Jenni janji pasti akan menjaga diri dengan baik. Jenni nggak akan ikut nanjak, Jenni di bawah saja liat gunugnya terus dadah dadah ke teman Jenni yang udah ada di puncak."

"Mana keliatan temen kamu. Kamu pasti keliatan sangat kecil dari atas. Daripada begitu lebih baik di rumah atau ke mall habisin uang papi."

Jenni frusrasi. Kenapa kali ini sangt susah mendapatkan ijin? Padahal biasanya mudah. Apa  Kenan  sudah tahu bahwa ia akan pergi dengan Arya? Jadi ia sudah tahu kebohongan Jenni? Menghembuskan napas pasrah Jenni mengeluarkan jurus terakhirnya. "Jenni janji setelah kelulusan S2 Jenni, Jenni akan langsung bekerja di kantor papi tanpa alasan. Jenni akan belajar menggantikan papi memimpin perusahaan. Gimana?"

Tidak langsung menjawab, Kenan malah menyatukan alis menatap putri satu-satunya dengan curiga. "Kamu mau kemana sebenarnya? Bukan ke gunung, kan?"

Mampus. Kenan bisa membaca gelagat kebohongan Jenni.  Dengan cepat Jenni menggerakkan tangan ke kiri dan kanan berupaya menyanggah perktaan Kenan. "Kalau bukan ke gunung kemna lagi, Pi?"

"Coba buka koper kamu. Papi mau lihat baju kamu."

Jenni melotot mendengar perintah papinya. Bisa mati dia kalau begini. Secara di dalam koper hanya ada setelan kantor dan juga dress. Bukan kaos santai atau jaket tebal yang harusnya dibawa ke gunung.

Saat Kenan akan beranjak, Jenni mencegah. "Eh, papi mau ngapain?"

"periksa koper kamulah."

"Koper aku isinya dalaman wanita, Pi. Papi nggak malu?"

"Kamu anak papi. Ngapain malu?"

Memejamkan mata, Jenni mencari alasan yang paling masuk akal. "Ya sudah, Jenni nggak akan ikut pergi. Jenni di rumah saja seperti anak introvert yang tidak punya teman, yang taunya belajar dan belajar. Biar papi bangga punya anak cedas seperti Jenni. Pasti nanti papi malu punya anak yang banyak tingkah seperti Jenni yang suka bepergian. Jadi, Jenni  batalin aja demi nama baik papi. Jenni rela korbanin acara ini demi papi," ucapnya dengan wajah sendu.

Dengan wajah sedih Jenni mengeluarkan beberapa buku catatan, map dan laptopnya secara perlahan. Dilanjut dengan make up lalu dalaman juga keperluan lainnya. Dgerakan sangat pelan untuk mengulur waktu. Supaya  tidak tahu kalau di dalam ada setelan kerja dan juga baju lainya. Dalam hati Jenni menghitung di detik ke berapa Kenan akan luluh. Satu dua ti--

"Baiklah kamu boleh pergi."

YESS!! 

Dalam hati Jenni bersorak. Sandiwaranya berjalan sukses dan lancar. Kenan memberinya ijin. "Beneran, Pi? Papi nggak nyesel? Papi beneran kasih ijin? Ikhlas dari hati yang terdalam?"

"Asal kamu senang, Papi juga akan sangat senang."

"Papi memang yang terbaik."

Jenni memeluk erat Kenan dengan mengucapkan terima kasih dan juga pujian untuk orang tuanya itu. Tak lupa juga beberapa kecupan untuk Kenan sebagai tanda sayangnya

Dengan ijin yang sudah dikantongi, Jenni bisa pergi kencan, eh, bekerja dengan bos dudanya. Ah, papinya memang yang terbaik. "Eh tapi, Pi ... papi nggak jadi ngutus Pak Suryo buat ngawasin Jenni, kan?"

"Kalau kamu-"

"No no no!! Jenni ngggak mau. Nanti suasananya jadi kaku dan nggak enak banget pasti."

"Oke, papi nggak ngirim Pak Suryo. tapi kamu harus janji untuk selalu memberi kabar papi, nggak boleh telat makan dan juga sampai rumah dengan selamat tanpa luka sedikitpun."

"Siap, Papi."

"Ya sudah, ayo makan!"

Beranjak berdiri, Jenni menggandeng tangan papinya pergi ke meja makan. Hatinya bersenandung riang karena ia bisa pergi berdua dengan bos dudanya tanpa pengawasan papinya dan bebas. Ah, Jenni jadi bingung mau ngapain aja sama Bos gantengnya itu. Jenni tersenyum  tanpa henti sampai membuat Kenan geli sendiri.

"Papi heran ... ke villa aja bisa bikin senyum kamu keluar terus. Padahal kamu kan sering ke luar negeri, tapi reaksi kamu biasa saja."

"Oh, liburan ini beda, Pi."

"Apa bedanya?"

"Ihh, papi kepo."

Kenan hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku putrinya. Baginya kebahagiaan Jenni adalah segalanya. Bukan ia tidak percaya dengan Jenni, ia hanya khawatir, tapi melihat senyum itu ia tahu bahwa sudah saatnya ia percaya dan melepaskan putrinya. Ia harus dewasa dengan waktu dan keadaan, dengan teman dan juga pengalaman yang menyenangkan. 














Hai hai,,,
Aku up dua bab hari ini. Cuss ke bab selanjutnya, ya. Jangan lupa hujatan untukku yang lupa dengan keberadaan cerita ini. Selamat membaca ^^

Merenggut Cinta Calon MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang