Sedikit rasa

2.3K 111 41
                                    

Arya menatap Jenni yang tertidur pulas di kursinya. Meletakkan wajah cantik itu di meja dan menghadap ke samping dengan setumpuk dokumen yang tertata tidak rapi. Perempuan itu kelelahan dengan tugas yang diberikan Arya. Ada puluhan dokumen yang harus dipelajarinya dalam waktu singkat.

Arya tersenyum kala mengingat tawar menawar yang dilakukan Jenni. "Gini deh, Pak, meeting besok saya yang akan presentasi. Jika hasilnya memuaskan, saya tidak perlu mempelajari tumpukan kertas yang bikin saya mual dan muntah. Tapi kalau hasil presentasi saya jelek, saya akan mempelajari dokumen itu hingga lelah dan ikhlas lahir batin. Deal??"

Arya mengangkat alis melihat tangan mulus yang terulur di depannya. Selama ia bekerja menjadi seorang ceo, ia tak pernah dilawan apalagi ditawar seperti ini karena ia pikir itu tidak mungkin terjadi. Secara, swmua orang pasti takut denegan atasan dan butuh uang makanya selalu mencari selamat. Namun, kali ini situasinya berbeda. Yang ia pekerjakan adalah karyawan sultan. Bahkan, mobilnya saja kalah mahal dengan mobil milik Jenni. For good shake.

Pertanyaanya sekarang adalah bukankah hal yang sangat wajar bagi seorang karyawan baru mempelajari dokumen untuk memperlancar pekerjaannya?

"Pak," panggil Jenni sambil menggerakkan tangan kirinya di depan wajah Arya karena tangan kanannya masih betah terulur dan tidak berniat menariknya.

Arya memandang tangan dan wajah Jenni bergantian sedang berpikir dan menentukan sesuatu. Lalu menatap wajah cantik tanpa kerutan dan jerawat itu dengan wajah datar. "Kenapa saya harus setuju dengan penawaran kamu?"

"Karena keuntungan bapak banyak sekali jika setuju."

"Pertama?" tanya Arya dengan cepat dan tanpa membuang waktu.

"Bapak mempunyai sekretaris cerdas dan potensial seperti saya," akunya kagum. Jenni mengucapkan itu dengan mata berbinar dan raut bahagia.

"Kedua?"

"Bapak punya sekretaris cantik dan seksi seperti saya."

"Ketiga?"

"Dan yang terakhir, Bapak punya karyawan yang kaya raya seperti saya!"

Jenni mengucapkan ketiga jawaban itu dengan jari tangan yang mengacung sesuai angkanya. Perempuan itu bergerak ke kanan dan kiri di depan Arya. Wajahnya pun terlihat sangat puas dan bangga akan jawaban yang dikemukakan.

Sebenarnya bukan maksud Jenni untuk sombong, tapi dia mengatakan kenyataan yang mungkin saja terlewatkan oleh Arya. Yang mungkin saja dilupakan bosnya itu dan mungkin tidak dianggap penting oleh bosnya.

Arya mendengkus keras. Entah ada apa dengan alam dan takdir sehingga ia dipertemukan dengan perempuan macam Jenni. Menjadi karyawannya pula. Semoga hari-harinya tetap berwarna. Karena jujur saja, ia memang sering tersenyum tapi hatinya sedikit suram karena ucapan dan kesombongan hakiki seorang Jenni.

"Sudah?" tanya Arya beberapa saat setelah Jenni selesai mengucapkan kalimat penuh kesombongan yang menonjolkan dirinya.

"Gimana? Bapak setuju, kan?" Jenni bertanya dengan satu sudut bibir terangkat. Tubuhnya yang tinggi setara dengan hidung mancung Arya tak membuatnya harus bersusah payah untuk mendongak atau berjinjit.

"Pada akhirnya kamu tetap mempelajari dokumen, Jenni," ujar Arya memperjelas keputusan Jenni yang menurutnya bodoh.

"Iya juga, sih. Tapi, setidaknya dokumen dan materi yang dipelajari tidak sebanyak sebelum saya menawar," jawab Jenni dengan mengetuk dagu.

"Kamu kuliah di pasar atau di kampus?" tanya Arya melenceng jauh.

"Ha? Bapak aneh, deh." Jenni tertawa kecil dengan pertanyaan sarkatis Arya. "Dimana-mana kuliah itu ya di kampus, Pak. Mana ada kuliah di pasar. Sekalipun itu jurusan manajeman ataupun marketing, tetap saja kuliah di kampus, Pak."

"Lalu, kenapa kamu pandai sekali menawar?"

"Ah, itu ...." Jenni kehabisan kata-kata. Bahkan jari telunjuknya berhenti di tempat.

"Baiklah saya setuju. Semoga kerja keras kamu membuahkan hasil."

"Ay ay kapten," ujar Jenni penuh semangat dengan tangan membentuk hormat diatas alis senyumnya juga mengenang sempurna seperti adonan yang berhasil. Arya menghentikan langkahnya kala mendengar seruan semangat Jenni. Ia menolehkan kepalanya ke samping kanan, menyatukan alis dan melipat kening. Ucapan itu terdengar aneh dan tidak sopan apalagi untuk karyawan baru seperi Jenni. "Mm-mm-maksud saya ... siap, Pak. Ah Iya, siap, Pak!!"

Arya tidak menjawab dan memilih melanjutkan langkahnya ke kursi, lelah juga berdiri. Ia berbincang dengan Jenni tadi posisi berdiri karena perempuan itu terus menerus mengelak dan menawar membuat Arya geram sekaligus gemas. Sehingga ia berdiri dan menekan Jenni dengan tatapan, sikap dan wajah datarnya.

Jenni memukul mulutnya berulang kali. Entah bagaimana ia bisa kelepasan seperti tadi. Ah, nanti malam mungkin ia akan menyekolahkan mulutnya supaya lebih disiplin dan sopan lagi. Tapi dimana? "Tanya Luna saja, deh," batinnya.

Pintu masuk yang diketuk membuat Jenni urung untuk duduk. Ia mengalihkan tatapannya pada benda mati yang berdiri tegak dengan tembok di sisinya.

"Masuk!"

Pintu terbuka setelah kata perintah terdengar tegas dan jelas di ruangan yang cukup luas itu. Jenni menunggu, sedangkan Arya tetap sibuk dengan bolpoin di tangannya.

"Selamat pagi, Pak," sapa Heri begitu memasuki ruangan Arya. Pria itu menunduk penuh hormat. Berdiri tegak tak mau duduk. Ah, Jenni bahkan tidak pernah melakukan itu pada bosnya. Apa dia kekanakan? Atau seenaknya? Ah, biarlah. Salah sendiri Arya tidak pernah menegurnya.

"Kamu sudah datang." Arya meletakkan bolpoin di meja dan mengalihkan atensinya pada Heri. "Saya ingin kamu membawakan dokumen untuk presentasi senin besok. Juga beberapa dokumen yang terkait dengan proyek itu."

"Maaf?"

"Jenni yang akan presentasi senin besok dan dia butuh semua materi itu untuk memperlancar. Saya butuh secepatnya karena dia sudah tidak sabar untuk segera belajar," ujar Arya dengan melirik Jenni. Senyum sinis tersinggung di bibir merah Arya.

Jenni menunjuk dirinya sendiri dengan wajah cengo. Ia tidak tahu akan secepat ini. Ia pikir mungkin besok atau nanti untuk dibawa pulang karena sekarang masih hari jumat. Jadi, masih ada sisa dua hari untuk belajar. Tapi??

Heri menatap Jenni. Berkata lewat tatapan mata. Apa Jenni yakin? Apa ia bisa? Dan ada apa ini? Mungkin seperti itu pertanyaan yang diajukan Heri dan dijawab oleh senyum miris Jenni.

"Kenapa kamu masih berdiri di sini? Ambilkan sekarang!" perintah Arya tanpa mau mendengarkan alasan dan protesan.

Heri bergegas keluar ruangan dan kembali menutup pintu. Jenni hanya mengerjapkan matanya. Sungguh ini diluar dugaan. Arya, bosnya itu tidak membiarkan ia beristirahat sebentar saja.

"Apa jadwal saya?"

"Meeting dengan bagian pemasaran, Pak. Setelah makan siang pukul satu tepatnya," jelas Jenni.

"Materinya?"

"Sama Pak Heri, Pak."

"Yang seperti ini saja masih ditangani Heri, bagaimana kamu bisa mandiri?"

Jenni tahu itu adalah kalimat sindiran, dan itu mampu membakar emosinya. Jadi, ia berdiri berniat mencari sesuatu untuk kembali mendinginkan emosi yang sudah tersulut.

"Mau kemana kamu?"

"Ambil minum, Pak. Sepertinya saya butuh ice green tea latte."

"Ada office boy yang bisa kamu suruh."





















Aku, kalau punya karyawan kayak Jenni mungkin minum oskadon setiap hari. Bikin pusing dan emosi mulu. Wekekekekkk

Kenapa aku pilih Fizzo? Karena disana pembaca bisa dapat cuan dari koin yang bisa ditarik melalui e-wallet dana. Jadi, bukan hanya penulis yang untung tapi pembaca juga.

But, itu semua kembali pada kalian. Aku mengutamakan kalian sebagai pembaca setiaku.

Happy reading and sorry for typo ^_^

Merenggut Cinta Calon MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang