Teror lamaran kerja

2.8K 137 24
                                    

"Jadi, dia membuktikan ucapannya?" Arya menatap jalanan ibukota dengan ponsel di telinga kanan.

Arya sebenarnya meragukan ucapan mantan pacar putranya itu, tetapi mendengar kabar ini ia tersenyum puas.

Namun, kabar ini sedikit melegakan otaknya karena pekerjaan yang menumpuk ditambah keruwetan jalanan yang tidak kunjung hilang oleh pendingin ruangan tetapi kabar mengejutkan.

Arya pikir perempuan itu bercanda karena siapa yang mau susah payah melamar pekerjaan jika untuk bernafas saja ia dibayar?

"Ya. Dia juga berpesan kepada semua manager dan hrd bahwa ia tidak mau diinterview oleh siapapun kecuali Anda," jawab Heri sesuai kenyataan. Karena memang begitu yang dijelaskan setiap manager di tiap tempat perempuan itu melamar kerja.

"Itu lucu, bukan?"

"Ya, Pak. Apa Anda berniat melakukan permintaannya?"

"Akan aku pikir lagi. Aku ingin tahu seberapa besar kesungguhannya."

"Baik, Pak. Saya akan terus memantaunya."

Pria itu terkekeh mendengar penjelasan orang kepercayaannya, siapa lagi kalau bukan Heri. Pria di seberang mengatakan dengan jelas bahwasannya Jenni bersungguh-sungguh dengan perkataannya kemarin. Antara kagum dan berpikir bahwa itu semua hal bodoh juga sia-sia.

"Sekarang kemana lagi, Lun?" tanya Jenni lemas. Menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Harusnya tadi memakai sopir saja. Ia capek dan harus tetap menyetir. Sial.

"Ya lo liat daftar dong, Jen!"

"Nggak usah ngegas, bisa? Gue di samping lo. For your information."

"Lo nanya hal yang sama ribuan kali. Siapa yang nggak kesel," ujar Luna yang kini menginjak gas dan meninggalkan parkiran.

"Kenapa nggak pakai jasa orangku saja, sih? Kita bisa duduk sambil nge-drakor dan terima laporan beres. Nggak susah kayak gini, Luna."

"Heh, Cinderella!! Lo pikir, lo nggak diawasi apa? Lo pikir, lo bakal dilepas gitu aja setelah ngomong kayak gitu?"

Ah, iya, dia lupa. Jenni menyesal setelah mengucapkan itu. Padahal niatnya hanya omong kosong. Nyatanya, Luna dengan semangat empat puluh lima malah mewujudkan ucapan kesal Jenni.

Jenni sudah capek berkeliling dari satu kantor ke kantor lainnya. Begitu pula kafe yang dimiliki Arya. Tak hanya itu, ia menitipkan surat lamaran pekerjaan itu kepada sang manager langsung bukan satpam.atau resepsionis dan tak mau di interview hrd tapi harus langsung Arya sang pemilik. Tak peduli tatapan aneh dari setiap orang yang menerima surat lamarannya yang terpenting tujuan utamanya tercapai.

"Itu sangat konyol, Luna," kesal Jenni. Wajahnya merengut.

"Konyol apanya? Kreatif itu namanya." Jenni mendelik mendengar ucapan Luna.

Dua wanita yanng belum  menikah itu berbaring diatas ranjang Jenni. Terlalu lapar, keduanya memilih pulang dan memesan makanan secara online. Tapi, kalau menu masakan si Mbok sesuai lidah mereka saat ini, mereka akan langsung makan lalu tidur.

"Kenapa kita tadi nggak pakai sopir aja, sih?"

"Lo nggak usul."

Entah berapa lama mereka menatap atap kamar Jenni. Keduanya hanya diam tidak ada suara yang muncul di antara mereka. Lalu, saling lirik dan berakhir dengan tawa yang terbahak-bahak merasa lucu dengan hari ini.

"Gila banget nggak sih?" tanya Jenni setelah tawanya reda.

"Nggak gila. Cuman sekarang kita tahu cara masuk rumah sakit jiwa," jawab Luna asal. "Apa kata dunia coba, Jen."

Merenggut Cinta Calon MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang