Jenni berjalan cepat memasuki kantor. Ia sudah terlambat sepuluh menit. Mungkin karyawan lain tidak akan peduli, tapi perkataan bossnya selalu berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya. Pedas dan pahit. Tidak cocok untuk sarapan.
"Selamat pagi, Mbak Jenni," sapa satpam kantor yang berdiri diluar lobi. Pria senja itu tersenyum lebar saat menyapanya.
"Pagi, Pak," jawab Jenni cepat. Jika ia biasanya berbasa-basi dengan satpam di sana, maka pagi ini tidak. Ia masih belum sukses dengan rencananya itu alasan pertama. Alasan kedua dia masih ingin melihat wajah tampan bosnya.
Kaki jenjangnya melangkah dengan cepat menuju lift. Menekan tombol lift supaya cepat terbuka dan ia bisa memasukinya. Kembali berjalan dengan cepat, Jenni berhasil duduk di kursinya. Meletakkan tas lalu meminum air putih yang sudah tersedia di mejanya. Napasnya dikuras habis sehingga ia ngos-ngosan saat berhasil duduk.
"Haahhh, capeknya," ucap Jenni sambil menempelkan punggungnya di kursi. Ia sudah tidak satu ruangan dengan Arya. Kini meja kerjanya berada di luar ruangan Arya menggantikan posisi Heri. Heri di pindah di bagian keuangan. Namun ini lebih baik daripada terus melihat Arya dan membuatnya tidak konsentrasi. Atau mungkin dipecat lebih cepat.
Menyalakan komputer, Jenni melirik jam yang berada di sudut bawah. Ia telat delapan belas menit. Semoga saja dudanya itu tidak marah. Semoga.
Jenni membuka jurnalnya. Segala catatan tentang kegiatan bosnya ada di sana. Membaca kegiatan satu persatu. Semoga tidak ada rapat pagi ini atau ia akan mati. Bagaimana tidak mati jika ia datang terlambat dua puluh menit. Total dari keterlambatan yang ada dan bosnya mengetahui perihal ini, bisa dibunuh dia.
"Selamat pagi, Pak," jawab Jenni saat telepon di mejanya berdering. Dalam hati ia merapalkan segala doa untuk kebaikan dirinya sendiri. Egois memang tapi kemarahan Arya tidak bisa dielak.
"Ke ruangan saya," perintah Arya tanpa mau menghabiskan tenaga menjawab sapaan Jenni.
"Baik, Pak." Jenni menutup telepon lalu berdiri. Merapikan baju dan riasan supaya tidak terlihat kusut akibat berlarian tadi dan tidak ketahuan kalau terlambat.
Mengetuk pintu sebelum masuk, Jenni menunggu sampai terdengar perintah dari Arya. Meski tadi ia sudah disuruh lewat telepon, tetap saja ia harus mengetuk. Meskipun ia anak orang kaya, ia tahu sopan santun.
"Masuk." Jenni membuka pintu lalu masuk saat terdengar suara Arya. Jenni hanya diam saja sambil berdiri seperti akan melaksanakan upacara. Sekitar lima menit ruangan itu hening tidak ada suara. Posisi Jenni juga tidak berubah. Arya mengangkat alis melihat sikap Jenni. "Sampai kapan kamu akan diam saja di sana?" tanya Arya menahan kesal.
"Eh, Bapak kan yang menyuruh saya masuk. Jadi, saya menunggu ucapan Bapak," jawabnya polos.
Arya menatap tidak percaya pada Jenni. Apa perempuan di hadapannya ini lupa tugasnya atau bagaimana?
"Kamu di sini sudah berapa lama, Jenni? Apa saya harus mengingatkan kamu setiap saat?"
"Eh." Jenni gelagapan. Jurnal yang ia bawa akhirnya dibuka. "Maaf, Pak. Saya lupa," ucap Jenni dengan senyum lebar tanpa dosa. Tangannya membentuk huruf V.
Arya menghela nafas. Bagaimana ia bisa mempunyai asisten yang begitu polos dan menggemaskan seperti Jenni? Bagaimana ia bisa bertahan dengan senyum Jenni yang membuatnya melayang? Bagaimana ia bisa bernafas dengan teratur jika ruangannya dipenuhi aroma Jenni? Arya tidak bisa. Semakin lama Jenni berada di sekitarnya, semakin cepat pula ia gila.
"Jam sepuluh Bapak ada meeting dengan kepala kafe membahas menu baru menjelang ulang tahun kafe Hanya itu saja, Pak. Nanti siang sampai pulang jadwal Bapak kosong."
"Kamu boleh pergi."
"Baik, Pak." Jenni berbalik dan akan melangkah saat Arya memanggilnya dan ia berbalik. "Iya, Pak?"
"Kamu sudah cek rekening kamu?" tanya Arya dengan mengamati Jenni dari atas ke bawah. Perempuan itu selalu berhasil tampil cantik meski fashionnya sangat santai.
"Belum, Pak. Kenapa?" tanya Jenni lugu.
"Cek sekarang."
Dengan cepat Jenni membuka ponselnya dan menekan aplikasi berlogo sebuah bank. "What?!" ucapnya terkejut. Matanya melebar. Menatap Arya meminta kepastian. "Ini beneran, Pak?"
"Iya." Arya mendengkus setelah menjawab pertanyaan Jenni. Secara Jenni bukan orang yang kekurangan uang dan materi tapi melihat ekspresi Jenni membuat Arya tersenyum geli.
"Yyeeee!!" sorak Jenni senang. Perempuan itu melompat-lompat kegirangan. Tanpa sadar bahwa di belakangnya ada office boy yang membawa kopi panas.
Suara cangkir yang bertabrakan dengan lantai terdengar bersama teriakan Jenni akibat terkena kopi panas. Bajunya yang berwarna hijau toska menjadi hitam akibat cairan kopi dari bahu hingga perut. Bagian depan baju itu basah membuat Jenni mengibaskan baju itu.
"Jenni!!" teriak Arya berlari mendekat Jenni. "Bisa kerja, nggak?!?!" teriaknya pada office boy tersebut.
"Aawwhh panas! Panas!!" teriak Jenni menggerakkan baju supaya tidak terkena kulitnya. Namun sayang, itu semua tidak berarti karena sekarang kulitnya kepanasan dan tinggal menunggu waktu hingga melepuh.
"Maaf, maaf, Mbak. Saya tidak sengaja," ujar office boy itu dengan menunduk lalu mengambil pecahan cangkir di lantai.
"Tidak apa-apa saya yang salah." Jenni terus meringis karena kepanasan. "Sshhh, panas."
"Kamu beres kan kekacauan ini. Kalau sampai terjadi sesuatu dan Jenni, kamu saya pecat!!" ujar Arya tegas.
"Ayo ikut saya," ajak Arya pada Jenni. Merangkul bahu Perempuan itu memasuki sebuah kamar yang biasanya digunakan Arya untuk beristirahat.
Setelah memasuki kamar itu, Arya melepas rangkulan tangannya dari bahu Jenni. "Lepas baju kamu."
"Apa?!?"
"Lepas baju kamu, Jenni."
"Bapak mau ngapain?"
Tanpa banyak kata Arya mendekat dan melepas kancing baju Jenni dengan paksaan. Meskipun Jenni menolak, Arya tidak peduli. Pria itu terus melepas kancing baju Jenni hingga kain itu teronggok di lantai. Kulit mulus nan putih Jenni langsung terekspos dengan sempurna. Bukan hanya itu, payudara besar dan bulat milik Jenni terpampang dengan jelas di depan mata Arya. Pria itu menelan ludah. Itu sangat indah. Ia sempat terpana melihatnya. Arya tidak berkedip saat melihatnya.
"Pak," tegur Jenni salah tingkah. Wajahnya merona karena dipandangi dengan raut memuja. Rasa panas akibat kopi tadi tidak begitu terasa karena sekarang hawa tubuhnya menjadi lebih menggila. Panas dingin akibat tatapan Arya yang menelanjangi.
"Maaf," ucap Arya salah tingkah. "Saya ambilkan handuk dan kamu masuk kamar mandi. Kulit yang terkena tumpahan air panas lebih cepat reda dengan siraman air di bawah shower. Lagipula pasti lengket kalau langsung dikasih salep."
"Ii-iya, Pak."
"Kamar mandinya di sebelah sana." Tunjuk Arya pada sebuah pintu.
Jenni melangkah memasuki kamar mandi dan Arya menyiapkan handuk juga salep untuk luka perempuan itu. Pria itu bergerak dengan cepat mengambil apa yang diperlukan.
Saat berada di depan pintu kamar mandi, Arya mengetuk pintunya memanggil nama Jenni. Saat pintu terbuka, Arya mengulurkan handuk untuk diambil Jenni.
Arya menahan nafas saat tangan putih dan mulus itu meraih handuk dari tangannya. Saat kulit Jenni yang basah bersentuhan dengan kulit Arya yang panas menimbulkan sengatan listrik pada tubuh keduanya. Keduanya terpaku, tapi Jenni lebih cepat sadar. Ia menutup pintu lalu bersandar di baliknya. Hal yang sama dilakukan oleh Arya.
"Argh aku sudah gila!"
Kangen, nggak?
Kangen, nggak?
Kangen dong, masa enggak?Bisa tebak ada adegan apa di part selanjutnya? Wkwkwkkwkk
Aku datang menemani puasa kalian. Semoga puasanya lancar. Begitu juga dengan nulisku Wkwkwkkwkk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merenggut Cinta Calon Mertua
RomanceDitolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan hati sang calon mertua yang kebetulan duda. Lantas, seperti apa perjuangan Jenni? Bagaimana reaksi...