Perkara gaji

2.8K 107 22
                                    

"Kenapa lo senyam-senyum?" tanya Luna dengan alis menyatu. Matanya memicing curiga pada Jenni yang tidak berhenti melengkungkan bibirnya ke atas. Merasa aneh dengan tingkah sahabatnya.

"Gue gajian, Lun!!" ucap Jenni penuh semangat. Dia tidak bohong tentang gajian, tapi tidak semua fakta dibeberkan secara gamblang.

Luna mendengus kesal. Mencebikkan bibirnya melihat reaksi Jenni yang berlebihan menurutnya. Perempuan itu berbicara tidak minat pada Jenni yang masih asyik menyanyi kecil sembari menyetir mobil.

"Emang berapa gaji lo?" Luna pada akhirnya ingin tahu juga. Secara tempat kerja Jenni merupakan tempat sukses di urutan ketiga setelah milik ayah Jenni.

"Belum nyentuh angka sepuluh sih, tapi gue bahagia  banget, Lun. Gue jadi tahu rasanya punya uang dari hasil kerja keras," jelas Jenni dengan kepala bergerak ke kiri dan kanan.

"Itu tidak lebih besar dari uang jajanmu satu bulan, Jen," kesal Luna. Perempuan itu semakin sebal dengan tingkah Jenni. Menerima gaji tapi tingkahnya seperti orang kasmaran.

"Isshh, lo mah, ngerusak suasana hati gue aja. Udah deh, diem. Udah gue jemput juga buat rayain hari gajian gue, mestinya lo bilang makasih, kek!" kesal Jenni.

Luna menghela nafas bersalah. Kerjaan di kantor sangat banyak. Belum lagi akhir bulan yang membuat laporan menumpuk sehingga memusingkan dirinya dan itu berefek pada mood yang berantakan.

"Sorry," ucap Luna pada akhirnya.

"Its oke. Papi ngasih kamu kerjaan banyak banget, ya?" Luna mengangguk menjawab pertanyaan Jenni.

"Mana semua laporan perlu revisi. Akhirnya gue yang kena damprat gara-gara kerjaan tiap bagian ada aja yang salah," keluh Luna. "Kita mau makan dimana?"

"Lo yang nentuin. Gue yang bayarin," ucap Jenni menepuk dadanya jumawa. Luna mendengus mendengar kesombongan Jenni. Padahal, tanpa gajian pun, perempuan itu yang selalu membayar makan mereka. "Gue lagi pengen ikan bakar nih, Lun. Gimana kalo kita ke resto langganan? Gue kangen sambal mangganya. Uh, udah ngiler aja gue karena asam kecut dan pedesnya tuh sambal mangga."

"Boleh. Rasanya mood gue yang berantakan bisa balik."

Sepulang kerja Jenni menelpon Luna mengajaknya jalan-jalan. Kejadian di kantor membuatnya tidak berhenti tersenyum. Jenni ingin membagi kebahagiaannya dengan Luna. Meski dengan alasan lain, setidaknya Luna merasakan efek dari hal itu.

"Eh, ini baju baru, Jen?" tanya Luna mengamati baju Jenni. Keduanya memang sedekat itu sampai baju pun keduanya tahu bahwa itu baju baru atau lama.

"Bb-bukan. Ii-ini baju lama. Gue belinya pas nggak jalan sama lo," jelas Jenni dengan terbata. Ia lupa kalau Luna termasuk anak yang jeli dan bisa merasakan kejanggalan dengan sangat cepat.

"Kapan belinya?"

"Seminggu yang lalu, online." Mata Jenni melihat ke sembarang arah. Ia takut ketahuan oleh Luna.

"Online atau offline? Tadi bilangnya--"

"Yuk, turun. Perut gue udah keroncongan." Jenni membuka pintu. Bernafas lega karena resto ini berhasil menyelamatkannya dari interogasi Luna.

Keduanya masuk bersamaan. Tempat makan itu sudah ramai dengan beberpa orang, beruntung spot favorit mereka belum terisi. Rumah makan bergaya tradisional dengan beberapa gazebo yang berada di halaman belakang membuat suasana pedesaan begitu terasa. Dukungan lainnya yaitu ada kolam ikan di tengah lengkap air mancurnya. Tumbuhan yang rindang akan sangat sejuk saat siang hari.

"Yeaayy, makanan datang," seru Jenni senang.

Mereka memesan menu gurami bakar. Selain lezat, penyajiannya juga cepat. Harganya ramah di kantong untuk ukuran Luna. Keduanya makan dengan lahap karena mereka memang ditahap lapar sekali dan butuh amunisi. Untuk menggerakkan tubuh.

"Gimana kemajuan misi lo?" tanya Luna mengusap bibirnya dengan tisu lalu menyeruput jus. "Ini sudah satu bulan, Jen. Masa belum ada kemajuan?"

Jenni terbatuk-batuk. Pertanyaan Luna tepat sasaran. "Gue nggak sabar lihat tuh duda bertekuk lutut sama lo. Gila! Siapa dia berani nolak lo jadi menantunya. Bahkan semua pengusaha berbaris buat bisa jodohin anaknya sama lo."

"Progres lo kurang kali, Jen."

"Gg-gue takut dia suka beneran sama gue, Lun," cicit Jenni. "Lo tahu sendiri gue suka sama dia dari awal ketemu. Makanya gue nggak sedih banget pas ditinggal Adit nikah. Kan, gue suka bapaknya."

"Ya ampun, Jenni!! Terus kalau dia suka lo dan bales perasaan lo, bakal lo terima, gitu?"

Jenni mengangguk polos. "Lo nggak lihat langsung sih, Lun. Gimana cakepnya tuh duda dari dekat."

"Gue bodoh amat. Mau dari dekat, dari sedotan bahkan dari planet lain gue nggak peduli. Yang penting hati lo. Hati lo pernah sakit karena dia, Jen," geram Luna.

"Dia nggak seperti yang lo pikir, Lun."

"Bentar-bentar, dari ucapan lo, aromanya sudah ada sesuatu. Iya, kan? Ngaku, lo."

"Kita pulang aja ya, Lun. Diliatin orang banyak."

Luna tidak menjawab. Perempuan itu pergi begitu saja dari hadapan Jenni. Bahkan tidak pulang bersama sahabatnya. Bukan maksud Luna tidak suka jika sahabatnya bahagia, ia hanya tidak suka perlakuan Arya ketika pertama kali bertemu Jenni. Setidaknya pria itu harus minta maaf dulu. Jenni pulang dengan mood yang semakin berantakan.

Ponsel Jenni berdering. Nama 'bos duda' terlihat di layar. Segera Jenni mengangkat panggilan yang berisik itu.

"Ck, mau apa lagi sih, dia??" Bibir Jenni bahkan masih terasa tebal akibat ciuman Arya yang begitu memabukkan.

Arya sudah bercerita bahwa ia menyukai Jenni sejak perempuan itu bekerja di kantornya. Mungkin karena kebersamaan mereka selama bekerja dan tingkah Jenni yang kadang membuat Arya gemas perlahan rasa itu tumbuh. Namun, pria itu harus menahan diri.

Selain nama perusahaan yang harus dijaga, ia tahu bahwa umur Jenni dengannya terlalu jauh. Jadi, mustahil jika membangun sebuah hubungan.

Arya jujur jika kecantikan dan keseksian Jenni mampu memikat hatinya, tapi ada beberapa aspek lain yang membuat perasaan itu semakin berkembang. Seperti kebersamaan, tingkah menggemaskan dan ucapan Jenni yang kadang membuatnya tetawa pelan.

Sebelum kejadian kopi panas tadi, Arya bisa menahan dirinya. Namun, itu semua gagal saat ia disuguhkan dengan pemandangan terindah di dunia. Jenni dan tubuhnya yang polos dan seksi. Belum lagi sentuhan mereka yang sudah melewati batas.

"Iya, Pak?" tanya Jenni dengan dada yang berdebar.

"Saya mau tanya."

"Tanya apa, Pak?"

"Kamu jadi ngajak saya makan malam sebagai perayaan gajian pertama kamu?"












Aku menepati janji untuk update sehari sekali meskipun malam banget dan terlambat.

Sorry, karena ada human error jadi rasanya otakku mau pecah. Ketikanku yang hampir 2k ilang tak berbekas. Rasanya pengen banting hape saja.

Sampe sini puas?
Kurang apa lagi?

Merenggut Cinta Calon MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang