32. The End of Us

8.1K 709 9
                                    

Chapter ini mencapai 1929 kata.
*
*
*

Setelah memperjuangkan nyawa pasien lebih dari 3 jam, Aslan pun meninggalkan area OK. Ia memijat leher dan baru sekilas, lalu menyimpan tangannya ke saku scrub suits. Kakinya—hanya dibalut dengan sandal kodok biru—menelusuri koridor rumah sakit dengan gontai. Berulang kali lelaki itu juga mengembuskan napas kasar, berusaha lepas lelah.

Lelah membedah kepala pasien tidak seberapa dengan lelah menghadapi masalah dengan Bintang. Aslan benar-benar ingin segera akur, tetapi perempuan itu tidak ada di Tangerang. Tadi pagi, Aslan mendapat pesan dari Bu Firda bahwa Bintang memiliki beberapa penerbangan untuk hari ini. Ia baru akan sampai di Soekarno-Hatta sekitar menjelang malam.

Bukannya Aslan tidak ingin menghubungi Bintang lewat ponsel. Ia merasa tidak berhak melakukan itu karena masih ada masalah yang belum terselesaikan. Akan lebih baik jika Aslan bicara secara langsung dengan perempuan itu.

“Eh, ada Dokter Aslan juga?”

Sontak saja lelaki berkacamata itu menoleh. Ternyata, Suster Mia dan Suster Yanti baru saja masuk ke pantry, bergabung dengan Aslan yang sedang menikmati teh hijau. Jangan lupakan kehadiran seseorang yang langsung tersenyum semringah melihat kehadiran Aslan di sana. Chelsea Andhira.

“Baru beres operasi, ya, Dok?” tanya Suster Mia.

“Gimana, Dok? Semuanya lancar?” Suster Yanti ikut bersuara.

“Puji Tuhan, operasinya berhasil,” singkat Aslan. Ia mengangguk kecil, lalu mengalihkan pandangan, menatap keramaian ruas jalan raya tepat depan rumah sakit melalui kaca jendela.

Pikiran lelaki itu kembali dipenuhi oleh Bintang. Ia sedang apa, apakah penerbangannya lancar, apakah sudah menuju perjalanan pulang, Aslan ingin tahu semua itu. Ia juga rindu kebersamaan dengan Bintang. Bukan hanya saat kencan makan malam di restoran mewah, momen sekadar duduk berdua di ruang tamu pun Aslan rindukan.

“Kayaknya, Dokter Fadly ada rasa sama Dokter Chelsea, deh,” celetuk Suster Olin.

Chelsea terkekeh geli. “Enggak mungkin, lah, Sus. Kita cuma berteman, kok.”

“Laki-laki itu enggak mungkin mendekat kalau enggak ada maunya. Saya juga yakin, maunya Dokter Fadly bukan cuma berteman, tapi lebih dari itu,” sambung Suster Mia.

“Bener, tuh, apa kata Suster Mia. Lagian, cara pandang Dokter Fadly ke Dokter Chelsea itu beda. Penuh puja, kasih sayang, dan cinta.” Suster Yanti berkata dengan penuh semangat.

“Waktu ngobrol sama Dokter Chelsea, dia senyum terus, gak berhenti sama sekali. Nada bicaranya juga lembut banget, kayak yang menjaga perasaan Dokter Chelse gitu.” Suster Mia kembali menyahut.

Lagi, Chelsea hanya tertawa kecil menanggapi perkataan kedua suster itu. Ia menggeleng seraya berkata, “Beneran enggak ada apa-apa antara saya sama Dokter Fadly, Sus. Kami cuma berteman. Lagian, saya udah punya orang lain.”

Secara bersamaan, napas Suster Mia dan Suster Yanti pun tertahan. Mereka menatap Chelsea dengan mata yang mencuat setengah. Lalu, keduanya maju selangkah, mempertipis jarak dengan Chelsea.

“Dokter udah punya pacar?” tanya mereka, secara bersamaan.

Perempuan itu menggeleng.

“Terus?” Suster Olin bersuara.

“Maksudnya udah punya orang lain itu, gimana?” Suster Mia menuntut penjelasan.

Diam-diam, Chelsea melirik Aslan. Hanya dengan melihat punggung tegap dan bahu lebarnya, dada Chelsea sudah bergetar hebat. Hanya dengan sedikit pengintip lekukan wajahnya dari samping, sudah membuat Chelsea siap melemparkan hatinya pada Aslan.

Fly to You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang