Sebelum Aslan membuka pintu mobil, Bintang sudah lebih dulu memasukkan koper ke bagasi. Saat lelaki itu sudah berdiri di sampingnya—berniat untuk membantu—urusan Bintang sudah selesai. Ia berjalan dan duduk di kursi kemudi, mendahului sang pemilik. Dengan dahi yang berkerut, Aslan pun segera menyusul.
Ia melirik Bintang. “How was your flight?” tanyanya, sekadar berbasa-basi.
“Nothing special.” Bintang menjawab sembari memasang sabuk pengaman. Dia tak membalas lirikan Aslan sedikit pun.
Bintang kenapa, sih? Sembari terus bertanya-tanya, Aslan pun menyalakan mobil dan segera menginjak pedal gas, meninggalkan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Aslan yakin, ini bukan perasaannya saja. Bintang berubah setelah malam itu. Ah, bukan. Ia berubah setelah mengirim kotak makan melalui Suster Mia. Selama 3 hari ini, Aslan telat mendapat balasan pesan, teleponnya jarang diangkat, dan saat bertemu seperti sekarang, Bintang tidak banyak bicara. Padahal, biasanya, ia selalu menceritakan penerbangannya dengan penuh antusias.
“Tadi saya lihat ada restoran Korea yang baru buka. Gimana kalau kita makan di sana dulu?” Aslan kembali membuka pembicaraan, berharap makanan bisa memancing cairnya suasana di antara mereka.
“Aku udah makan,” ketus Bintang.
“Kalau gitu, take—”
“Aku capek. Mau istirahat,” potong Bintang. Ia melirik Aslan sekilas, lalu kembali membuang muka ke jendela.
Helaan napas pelan keluar dari bibir Aslan. Walaupun hanya sebentar, tetapi Aslan melihat dengan jelas lirikan tajam Bintang. Nada bicaranya pun terdengar begitu dingin, membuat hati Aslan merasa tertohok.
“Kamu kenapa, sih, Bi? Kok, ketus begitu sama saya?” Meski mulai kesal, Aslan berusaha bersikap selembut mungkin.
“Gak apa-apa.” Nada bicara Bintang masih begitu ketus.
Sembari terus menyetir, Aslan meraih tangan Bintang. “Lagi ada masalah, ya? Cerita aja sama saya. Atau lagi capek? Nanti saya peluk begitu kita sampai, ya.”
Bintang langsung menepis kasar tangan lelaki itu. “Aku bilang, aku gak apa-apa! Gak ada masalah dan gak butuh pelukan kamu!” Tak ingin kembali disentuh Aslan, Bintang melipat tangannya di depan dada. Cih! Sok perhatian banget sampe bilang mau kasih pelukan segala! Dipikir gue gak tahu kalau itu dada sama tangan kasih kehangatan ke cewek lain juga! Dasar, Buaya Buntung!
Kali ini, Aslan menghela napas lebih kasar dari sebelumnya. Dia kembali menarik tangan kiri yang ditepis Bintang, memegang stir kuat-kuat untuk melampiaskan emosi terpendamnya.
Berurusan dengan makhluk bernama wanita jauh lebih rumit daripada segala penyakit yang menyerang sistem syaraf pusat. Berhadapan dengan mereka jauh lebih menguras asa dibandingkan dengan meja bedah dan segala instrumennya. Aslan merasa tidak ada salah apa-apa, hubungan mereka baik-baik saja, Bintang malah berubah dingin begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly to You [Tamat]
RomansaApa yang salah dari status lajang di usia 30 tahun? Apakah itu adalah sebuah kesalahan besar sampai orang-orang di sekitar terus bertanya kapan menikah? Hanya karena belum memiliki pasangan, hidup Bintang Skylar tidak menyedihkan sama sekali. Justru...