“Kayaknya, pernikahan dengan dekorasi fairy tail bagus, deh, Mas,” celetuk Bintang sembari menatap monitor. “Ada bunga-bunganya, dekorasi warna pastel, pakai lampu kecil-kecil. Bagus yang fairy tail, Mas. Kita pakai tema ini aja, ya?”
Aslan ikut memperhatikan monitor sambil menggaruk tengkuk. “Kayak pesta anak kecil, gak, sih, Bi?” cicitnya.
“Ih, kok, bilang kayak pesta anak kecil, sih? Enggak, lah, Mas. Dekorasi kayak gini cocok-cocok aja buat semua kalangan usia. Cantik, tahu. Nanti kita beneran berasa raja dan ratu sehari,” rajuk Bintang, berusaha meluluhkan Aslan.
“Coba kamu lihat lagi yang tema rustic. Itu juga bagus, kok.” Aslan menoleh pada pihak WO. “Mbak, tolong perlihatkan slide yang tema rustic.”
“Baik, Mas.”
Bintang menurut saja, mengamati tema rustic yang langsung disetujui oleh Aslan sejak awal technical meeting bersama pihak WO. Memang unik, dekorasi dipenuhi furnitur kayu-kayuan serta hiasan minimalis seperti floral atau kain terjuntai. Kesan alami dari kayu dipadukan dengan gaun dengan warna yang lembut akan membuat penampilan Bintang dan Aslan nanti semakin elegan.
Namun, hati Bintang tidak setuju. “Terlalu sederhana, Mas. Kalau kita pakai tema ini, yang nikah, tuh, kayak orang yang udah tua banget.”
“Kan, kita emang udah tua, Bi.”
“Enak aja! Mas yang udah tua, ya. Aku belum!” sungut Bintang.
“Cuma dua tahun, orang gak akan bisa bedain,” timpal Aslan, setengah berbisik.
Perempuan itu hanya berdecih untuk meladeni silat lidah dengan Aslan. Lalu, ia menoleh pada pihak WO. “Saya lihat lagi yang tema modern, ya, Mbak.”
Baik Aslan maupun Bintang, keduanya sama-sama tak menyangka jika menyiapkan pernikahan akan begitu rumit. Membahas tema dekorasi saja, mereka berdebat sampai membahas umur, apalagi yang lain. Masih ada diskusi tentang desain baju, cincin pernikahan, katering, konsep undangan, sampai suvenir. Mereka baru bisa menyelesaikan perihal gedung pelaksanaan resepsi. Selebihnya, masih nihil.
Hubungan yang adem ayem pun menjadi sering dibumbui percekcokan. Mereka mendadak saling egois, tidak mau berhenti saling mengejek, sampai protes mengenai pekerjaan. Bintang tidak bisa absen terbang, Aslan jadi semakin rajin masuk OK. Keduanya bingung harus senang atau sedih dengan bertambahnya jalan dana pernikahan mereka ini.
Jangan heran juga mengenai panggilan Bintang pada Aslan. Semenjak bertemu dengan Oma Jayanti—oma Aslan dari ayahnya—Bintang membulatkan hati untuk merubah cara panggilnya. Wanita senja itu saja memanggil Aslan dengan tambahan embel-embel ‘Mas’, masa Bintang hanya memanggil dengan nama? Bisa-bisa, pernikahan mereka tidak direstui!
“Kalau yang ini, gimana, Mas?” tanya Bintang, berharap ini akan menjadi titik akhir perdebatan tentang dekorasi.
Aslan tak menyahut masih mengamati dekorasi klasik di monitor. Setelah sekian lama diam, akhirnya dia mengangguk. “Yang ini bagus. Saya rasa, ini bisa menjadi jalan tengah kemauan kamu sama saya. Gak terlalu banyak dekorasi, tapi gak kayak orang tua juga.”
“Jadi kita usung tema modern aja, nih?”
“Boleh.” Aslan kembali mengangguk setuju. “Tapi nanti jangan semuanya putih, ya, Mbak. Harus ada sentuhan merah sama emas, biar menambah kesan glamour. Soalnya, calon istri saya ini suka segala sesuatu yang mewah,” ucapnya pada sang WO.
“Baik, Mas.”
“Jangan jujur banget kayak gitu, dong. Ketahuan banget aku ini cewek matre,” protes Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly to You [Tamat]
Storie d'amoreApa yang salah dari status lajang di usia 30 tahun? Apakah itu adalah sebuah kesalahan besar sampai orang-orang di sekitar terus bertanya kapan menikah? Hanya karena belum memiliki pasangan, hidup Bintang Skylar tidak menyedihkan sama sekali. Justru...