14. A Jerk

7.9K 743 10
                                    

“Ayo, dong, Lan. Mau, ya?”

“Saya bilang enggak, ya, enggak. Kenapa kamu keras kepala banget, Bintang?”

Bintang langsung berdecak keras mendengar penolakan Aslan yang kesekian kalinya. Ia membanting punggung ke sandaran sofa dan memasang wajah masam.

“Gue tahu, kita emang harus kerja keras supaya dapet uang banyak. Kita harus mendedikasikan diri untuk profesi kita. Tapi, itu bukan berarti kita harus lupa sama hiburan. Selain uang, hal-hal yang menyenangkan juga penting dalam hidup, lho.” Sekali lagi, Bintang berusaha mengubah keputusan Aslan.

“Alasan saya menolak bukan karena uang atau gak butuh hiburan, saya cuma memikirkan keadaan kamu. Baru tadi malam demam kamu turun, masa sekarang mau ke kelab malam? Jangan ngaco!”

Wajah Bintang semakin kecut. “Ya udah, gue pergi sendiri aja! Dengan atau tanpa lo, gue akan tetep datang ke acara ulang tahun temen gue!”

“Jangan macam-macam, Bintang. Pikirkan kesehatan—”

Sebelum Aslan berhasil menyelesaikan kalimatnya, Bintang sudah mengakhiri panggilan mereka. Dia melempar ponsel dengan asal, lalu beranjak menuju dapur. Tenggorokan Bintang terasa begitu kering setelah setengah jam merayu Aslan.

Ini tentang undangan ulang tahun teman sesama awak kabin. Acara akan berlangsung di salah satu kelab malam daerah Serpong Utara. Sebenarnya, Bintang bisa pergi sendiri—karena memang biasa seperti itu. Namun, ia ingin mengajak Aslan karena tahu Elio juga akan membawa pacar yang—katanya—berprofesi sebagai model. Sayangnya, setelah mulut Bintang berbusa pun, Aslan tidak mau menemani. Bahkan, ia juga tidak mengizinkan Bintang untuk pergi.

“Tetep gak mau?” tanya Bu Firda yang baru saja bergabung di mini bar dapur.

Bintang mengangguk dengan bibir mengerucut. “Dia keras kepala banget. Aku udah ngomong panjang lebar, tetep aja gak mau.”

“Itu karena Mas Aslan gak mau kamu kenapa-kenapa, Bi. Kamu gak tahu gimana khawatirnya Mama sama Mas Aslan sama keadaan kamu semalam. Mas Aslan juga gak bisa tidur nyenyak karena kamu bangun mulu. Sekarang, giliran udah sembuh, malah mau clubbing. Jelas dilarang, lah. Udah untung kamu gak disebut gila juga.”

“Ya udah, gak apa-apa kalau dia gak mau nemenin. Aku bisa datang sendiri, kok. Biasanya juga begitu.” Bintang kembali menenggak air mineralnya. Membayangkan wajah Aslan membuat emosinya semakin membara.

“Kamu, tuh, kenapa keras kepala banget, sih, Bi? Pikirin kesehatan kamu!” sungut Bu Firda.

“Aku udah sehat, kok, Ma. Gak usah khawatir,” enteng Bintang. “Yang punya acara lumayan deket sama aku. Kita sering banget tugas dalam pernebangan yang sama. Tadi pagi dia telepon aku langsung, minta buat hadir. Gak enak kalau gak dateng.”

Bu Firda mengembuskan napas kasar. “Terserah kamu, deh. Mama nyerah ngeladenin keras kepalanya kamu. Pokoknya, kalau nanti kamu sakit lagi, jangan ngerengek-ngerengek sama Mama! Jangan harap juga Mas Aslan bakal ngerawat kamu semalaman! Urus aja diri sendiri!” Bu Firda memutuskan pergi dari sana. Beliau memang tidak akan pernah bisa menang jika berdebat dengan Bintang.

Sementara perempuan dengan rambut sepinggang itu masih terdiam di dapur. Pandangannya tertuju pada sisa air yang ada di gelas. Ingatan Bintang berputar pada kejadian tadi malam.

“Ada saya di sini, Bintang. Dan akan selalu begitu.”

Walaupun sudah ada di ambang kesadaran, tetapi Bintang ingat apa yang terjadi. Ia bisa merasakan kecupan di kepalanya, usapan lembut di telapak tangannya, dan ucapan penuh kesungguhan dari Aslan. Ia juga mengingat dengan betul berapa sabarnya lelaki itu saat menghadapi Bintang yang rewel dan manja semalaman. Semuanya, terekam dengan jelas di memori Bintang.

Fly to You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang