34. I'm So Sorry

8.7K 730 9
                                    

Refleks saja Elio menoleh saat mendengar derap langkah dari ujung koridor RS Columbia Asia Semarang. Hanya sekian detik dia melihat ke arah sana. Elio kembali menatap salah satu pintu ruang radiologi, di mana Bintang sedang diperiksa oleh dokter.

Entahlah, Elio tidak tahu harus bernapas lega atau merasa sesak setelah melihat kedatangan lelaki bernama Aslan, calon suami Bintang itu. Ia bernapas lega karena Aslan terbilang cepat sampai Semarang untuk menyusul Bintang. Itu artinya, dia tidak mementingkan perempuan mana pun di atas Bintang. Namun, Elio juga sesak napas melihat lelaki itu langsung menyalami pria paruh baya berkulit putih itu.

“Keluarga pasien?”

“Saya.”

Elio dan Erika sontak bertukar pandang. Secara bersamaan pula mereka kembali menoleh pada bapak bule yang beberapa saat lalu duduk di depan ruang UGD tanpa mengatakan apa pun. Sedari tadi, beliau hanya menyatukan kedua telapak tangannya, membaca doa penuh khidmat, lalu mengukir tanda silang di kepala, kedua bahu, dan dada bidangnya.

“Saya ayah dari pasien bernama Bintang, Alvaro Skylar.”

Saat kalimat itu keluar dari bibir bapak bule itu, Elio hanya bisa menggigit pipi dalamnya. Dia tidak memedulikan tatapan penuh tanda tanya dari Erika yang setia berdiri di sampingnya selama 2 jam.

Iya, gue emang berhasil bikin Bintang akrab sama orang tua gue. Tapi, gue gak berhasil untuk sekadar tahu wajah papa kandung Bintang. Gue juga kaget, ternyata papanya bule tulen.

Jadi, wajar saja jika Elio hanya bisa membuang muka melihat Aslan menyalami lelaki paruh baya itu tanpa ragu. Tidak tahu ia harus senang karena Bintang melakukan apa yang ia sarankan dengan baik—menyambut kedatangan Aslan dalam hidupnya. Atau justru merasa iri karena tidak mendapat perlakuan yang sama 10 tahun lalu.

“Kok, Mas ada di sini?” tanya Bu Firda setelah bersalaman tangan dan pipi dengan papa kandung Bintang.

“Saya langsung ke sini begitu mendapat kabar dari pihak bandara. Kebetulan, saya juga lagi ada di rumah, sedang tidak meeting atau di luar kota, jadi bisa cepat,” jawab Pak Alvaro. Pengucapan bahasa Indonesia beliau tidak begitu fasih, tetapi masih bisa dimengerti.

Bu Firda mengangguk paham. “Apa kata dokter, Mas? Bintang gak kenapa-kenapa, kan? Lukanya gak parah, kan?”

“Bintang hanya mengalami cedera ringan di kepalanya. Kita tidak perlu terlalu khawatir. Dokter akan memberikan usaha yang terbaik untuknya.”

“Om yakin dokter tidak mengatakan hal yang lain? Contohnya hematoma, edema serebri, fraktur tengkorak, atau diffuse axonal injury?”

Bukannya menjawab Pak Alvaro malah melirik mantan istrinya dengan penuh kebingungan. Sebagai seorang arsitek, tentu semua istilah yang keluar dari pria berkacamata itu sangat asing di kepala Pak Alvaro. Namun, dengan melihat raut khawatir yang begitu jelas, Pak Alvaro yakin laki-laki ini sangat berharap tidak terjadi hal buruk pada Bintang.

“Ini Mas Aslan, Mas. Calon suami Bintang,” jelas Bu Firda pada akhirnya.

“Oh? Calon suami Bintang?” Pak Alvaro tidak bisa menahan keterkejutannya. Setahun tidak bertemu langsung, bertukar kabar pun seadanya, ternyata sang putri sudah memiliki calon pendamping sehidup semati.

Sembari memaksakan senyum, Aslan kembali menyalami Pak Alvaro. “Maaf, Om, saya terlalu fokus sama keadaan Bintang, sampai tidak sempat memperkenalkan diri. Saya Aslan, calon suami Bintang. Saya seorang ahli bedah syaraf, jadi saya menggunakan istilah medis saat bertanya sama Om barusan. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf, Om.”

No, it’s nothing. No problem,” jawab Pak Alvaro sembari mengusap bahu Aslan. “Nice to meet you, Aslan. Saya Alvaro, papanya Bintang.”

Fly to You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang