12. The Right Man

8.2K 785 18
                                    

Bintang melotot saat treadmill di sampingnya tiba-tiba dipakai. Ia tidak akan seterkejut ini jika itu orang lain. Pasalnya, Aslan benar-benar datang ke tempat fitness langganan Bintang setelah bertanya apa yang akan perempuan itu lakukan di off day terakhirnya.

"Ngapain lo ke sini?" bentak Bintang seketika.

"Mau olahraga," sambung Aslan dengan begitu santai.

"Gue yakin, di Kalideres juga pasti banyak tempat fitness. Ngapain lo jauh-jauh ke sini?"

"Biar bisa olahraga bareng sama kamu."

Dengkusan kasar keluar dari bibir Bintang. Berdecih, mengejek, sampai menendang kaki pun sudah Bintang lakukan untuk membuat Aslan mundur. Lelaki itu menyukai perempuan sopan, bukan? Mengapa masih terus berjuang setelah semua perilaku kurang ajar Bintang selama ini?

"Biar bisa olahraga sama kamu."

"Gak apa-apa, saya cuma mau tahu rencana kegiatan kamu buat besok aja."

"Jangan begadang, ya, gak baik untuk kesehatan. Apalagi pancaroba begini. Saya gak mau kamu sakit."

Begitu entengnya jawaban-jawaban gila itu keluar dari bibir Aslan setelah ditanya sinis oleh Bintang. Jangan lupakan nada lembut serta kekehan kecil yang terdengar begitu renyah meski hanya lewat telepon. Yang paling menyebalkan adalah apa yang Aslan katakan semalam.

"Lho, emang kenapa kalau saya bilang kamu calon istri saya? Kan, emang begitu kenyataannya. Ini, saya lagi berjuang supaya kamu mau nikah sama saya."

Tatapan polos Aslan saat berkata demikian benar-benar membuat Bintang kehabisan kata. Bu Dewi bilang, Aslan sudah lama tidak pacaran dan hanya sibuk bekerja, tetapi stok kalimat manis seperti tidak ada habisnya dari kepala lelaki itu. Jujur saja, Bintang hampir terbuai jika tidak ingat bahwa dia menentang perjodohan ini.

"Kamu itu orangnya kayak gimana, sih?" tandas Alsan tiba-tiba. "Maksud saya, tentang hidup kamu. Saya pengin tahu."

Bintang melirik Aslan sekilas. Lalu, menjawab, "Kayaknya, gak ada yang istimewa selain keberhasilan gue dalam mengejar cita-cita. Gue cuma cewek biasa yang tumbuh tanpa orang tua yang lengkap, gak ada pelajaran khusus yang gue kuasai, dan harus kerja keras dulu untuk beli apa yang gue inginkan."

"Menurut saya, itu semua istimewa, Bintang."

"Ah, satu lagi yang 'wah' dalam hidup gue." Bintang menoleh dan menatap Aslan dengan perhatian penuh. "Dijodohin sama lo."

Aslan terkekeh mendengarnya. "Cuma 'wah'? Bukan istimewa?"

"Lo pengen banget jadi bagian yang istimewa dalam hidup gue?" cemooh Bintang. Lalu, ia kembali menghadap depan. "Jujur, lo bukan kandidat pertama yang mama kenalkan ke gue. Tapi, gue selalu berhasil membuat cowok-cowok itu mundur. Mereka gak mau lanjut setelah tahu gue mau berkarier setelah menikah, mau punya rumah sendiri, mau main sama temen-temen, dan gak bisa masak. Tapi, lo? Lo beda."

"Mungkin karena memang sayalah laki-laki yang tepat untuk kamu."

Pergerakan kaki Bintang melambat. Dia menghentikan treadmill dan melanjutkan olahraga dengan dumbell.

Inilah bukti berapa mudahnya Aslan berkata manis. Tanpa ragu sedikit pun, dengan penuh percaya diri, dia berkata dialah laki-laki yang tepat untuk Bintang. Jika saja dia senang bermain mata dengan perempuan, sudah pasti Bintang akan menyebutnya Elio versi dokter.

Aslan menyusul Bintang dan mengambil dumbell 5 kilogram. "Kamu tahu? Cita-cita saya dari dulu bukan menjadi dokter," terang Aslan tiba-tiba. "Tapi baker."

Fly to You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang