38. Family Dinner

8.6K 670 12
                                    

Senyum langsung terbit di wajah cantik Bintang begitu keluar dari ruang praktek psikolog yang menanganinya. Dia melangkah lebih cepat, lalu melebur ke dalam pelukan Aslan. Wangi cendana dari kemeja putih lelaki itu Bintang cium dalam-dalam, sampai memenuhi parunya. Dengan begini, pengobatan kesehatan mentalnya jadi lebih lengkap.

“Bi, di sini ada banyak orang. Malu, kita dilihatin.” Memang pada dasarnya manusia kaku, Aslan langsung tidak nyaman meski hanya menjadi tontonan beberapa orang.

“Bentar lagi. Aku perlu re-charge tenaga aku,” gumam Bintang, tanpa melepaskan pelukannya sedikit pun.

“Di mobil aja, ya? Jangan di sini. Ada anak kecil juga, lho, tontonan kayak gini gak baik buat mereka,” bisik Aslan, berusaha bernegosiasi.

Sambil berdecak keras, akhirnya Bintang melepaskan pelukannya. Dia menatap Aslan penuh kesal dan berucap, “Gak pengertian banget, sih! Orang lagi pengen peluk juga, banyak ini itunya!”

“Bukannya begitu, Bi, saya cuma gak enak aja sama orang lain. Di sini bukan cuma kita berdua, harus tetap jaga sikap.” Seperti biasa, Aslan selalu mempertahankan nada lembutnya meski Bintang mulai ketus. “Yuk, pulang sekarang. Saya ada kejutan buat kamu.”

“Kejutan apa?”

“Ada, deh. Yang jelas, kamu pasti suka.”

Tanpa permisi, Aslan meraih tangan Bintang dan segera menggandengnya pergi dari sana. Lalu, keduanya menaiki BMW putih Aslan yang sudah terparkir di area parkir.

Seperti biasa, Aslan akan selalu setia menunggu sampai Bintang selesai dengan konsultasinya. Setelah 2 minggu menjalani terapi dengan psikolog kenalan Aslan, Bintang merasa kian baik. Dia semakin jarang mimpi buruk, semakin berani naik mobil, dan tidak lagi bereaksi berlebihan saat mendengar suara keras. Kini, ia sudah bisa menatap jalanan di depan mobil sambil bergandengan tangan dengan Aslan, tidak lagi hanya memegang sabuk pengaman kencang-kencang.

“Chelsea akan pindah praktek.”

Bintang menoleh seketika. “Ini kejutannya?”

“Bukan. Saya cuma merasa perlu kasih tahu kamu hal ini,” jawab Aslan. “Chelsea akan pindah ke Bandung, ikut orang tuanya. Saat ini, dia sedang mengurus proses mutasi keanggotaan IDI.”

“Kok, bisa hafal banget?”

“Saya gak sengaja dengar pembicaraan dia di acara ulang tahun rumah sakit kemarin,” jelas Aslan. Tidak ada nada kesal atau apa pun, ia masih bisa bersikap tenang. “Saya menyampaikan ini ke kamu karena saya ngerasa kamu emang perlu tahu. Biar enggak berpikiran negatif lagi, biar kamu bisa fokus sama terapi kamu.”

Perempuan itu mengangguk paham. “Bagus, deh, kalau begitu. Kalau dia jauh-jauh dari kamu, aku gak perlu was-was waktu enggak lagi di Tangerang.”

Aslan menoleh pada Bintang sekilas, lalu kembali menatap jalanan. “Kok, begitu? Emang kamu mau ke mana?”

“Aku harus mulai kerja lagi minggu depan.”

Pegangan Aslan mengerat tanpa ia sadari. “Emang kamu udah siap, Bi? Udah gak takut lagi buat terbang? Gimana kalau trauma kamu kambuh pas udah take off? Gimana kalau psikologis kamu terguncang lagi? Gimana kalau ....”

Ucapan Aslan hanya mampu keluar sampai sana. Lidahnya langsung kelu saat merasakan sentuhan lembab di pipi kirinya, karena ulah Bintang.

“Aku udah lebih baik, kok, Lan. Aku udah gak apa-apa. Lagian, aku juga dikasih obat sama Mbak Sonya, kok, jadi aman,” jelas Bintang setelah mendaratkan kecupan di pipi Aslan. Suaranya begitu santai, seakan tidak terjadi apa-apa. “Kamu jangan khawatir kayak gitu, dong. Harusnya, kamu itu semangatin aku. Aku butuh banget dukungan kamu di situasi kayak gini.”

Fly to You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang