“Tolong, anak saya ada di toilet!”
“Allahuakbar!”
“Ibu, ayah, tolong aku!”
Dengan sekali entakan, Bintang terbangun dari tidurnya. Napas memburu, kulit pucat, gigi yang saling bergemeletuk, juga keringat yang membasahi area dahi sampai pelipis. Untuk ke sekian kali, mimpi buruk tentang turbulensi itu datang lagi.
Bintang menghela napas panjang saat mendapati gelas di atas nakas sudah kosong. Dengan berat hati, dia menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Kaki jenjangnya ia seret menuju dapur untuk menuntaskan dahaga di kerongkongan.
Setelah menjalani berbagai tes, dirawat seminggu dan dipantau perkembangan hariannya, Bintang pun pulang tadi sore. Dia bersikukuh menggunakan transportasi darat karena masih terbayang kejadian itu. Memang memerlukan waktu yang lebih lama juga tenaga ekstra. Namun, positifnya, keluarga Bintang dan Aslan bisa saling mendekatkan selama perjalanan.
“Kok, bangun, Bi?” tanya Bu Firda, yang baru saja keluar dari kamar.
Bintang pun menoleh. “Cuma ambil air, Ma.”
“Terus, kenapa wajahnya pucat begitu?” Bu Firda menghampiri sang putri dengan cepat. Beliau mendesah saat mendapati anak rambut Bintang sudah basah sebagian. “Mimpi buruk lagi, ya?”
Perempuan 30 tahun itu mengangguk kecil.
“Tuh, kan, Mama bilang juga apa? Harusnya kamu dirawat lebih lama lagi. Biarpun fisik kamu udah sehat, tapi mental kamu belum, Bi. Psikologis kamu masih perlu dipulihkan.”
“Ma, di sini juga banyak psikolog, kok. Aku sama Aslan udah ngobrol juga. Dia bakal kenalin aku ke psikolog yang dia kenal, biar tiap aku terapi, bisa ditemenin juga.” Bintang mengusap bahu sang mama. “Udah, gak perlu khawatir berlebih kayak gitu. Kan, Mama selalu bilang aku ini udah tua. Jadi, aku udah bisa urus diri sendiri.”
“Mau berapa pun usia dan mau semandiri apa pun, kamu tetap anak di mata Mama, Bi. Kamu tetap harus diperhatikan segalanya. Apalagi anak cewek satu-satunya. Kalau bukan sama kamu, ke siapa lagi Mama akan mencurahkan kasih sayang Mama?”
Bintang tersenyum miring. “Jadi, Mama sayang sama aku, nih?”
Bu Firda langsung menyilang tangan di depan dada. “Masih berani nanya begitu?”
Seraya terkekeh, Bintang memeluk mamanya dari samping. Ia juga menghirup aroma tubuh sang mama kuat-kuat. Meski memiliki selera parfum yang berbeda, tetapi Bintang selalu mendapatkan ketenangan dari aroma parfum yang menempel pada daster mamanya.
“Gimana kalau malem ini aku tidur sama Mama aja?” celetuk Bintang tiba-tiba. “Gak malem ini aja, sih. Seenggaknya, sampai aku gak mimpi buruk lagi.”
“Tumben?”
“Ayo, dong, Ma. Anaknya lagi susah tidur nyenyak, nih. Bantuin, dong,” rajuk Bintang.
“Giliran kesusahan, baru butuh Mama. Giliran ada maunya, baru manja-manja. Biasanya galak banget!” ketus Bu Firda.
“Aku belajar dari Mama. Ehehehe.”
Bintang baru tahu jika nada manjanya bisa memiliki kekuatan ekstra. Saat itu, Aslan langsung mau membawakan minum setelah Bintang suara anak kecil. Sekarang, mamanya juga sukarela masuk ke kamarnya untuk tidur bersama. Ini bisa menjadi senjata Bintang untuk ke depannya.
“Kamu ngobrol apa aja sama papa tadi?” tanya Bu Firda setelah berbaring di samping putrinya.
“Gak banyak. Papa cuma mendoakan kesehatan aku dan Mama, minta aku lebih sering telepon dan kasih kabar, minta aku buat secepatnya nikah sama Aslan,” jawab Bintang dengan santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly to You [Tamat]
DragosteApa yang salah dari status lajang di usia 30 tahun? Apakah itu adalah sebuah kesalahan besar sampai orang-orang di sekitar terus bertanya kapan menikah? Hanya karena belum memiliki pasangan, hidup Bintang Skylar tidak menyedihkan sama sekali. Justru...