[Aku baru nyampe penginapan. Kayaknya bakal susah dihubungi. Sinyal di sini agak susah.]
Aslan tersenyum melihat pesan dari Bintang. Lalu, jemarinya menari di permukaan layar ponsel, mengetik jawaban untuk sang calon istri.
[Iya, gak apa-apa. Kamu istirahat aja, ya. Saya juga pulang sebentar lagi.]
Setelah itu, ia menyimpan ponsel kembali ke saku snelli. Kemudian, Aslan keluar dari ruangannya dan menelusuri koridor menuju lift. Sebelum pulang, ia akan menyempatkan diri untuk mengunjungi pasien yang besok akan ia operasi.
Sejak malam itu, komunikasi Aslan dan Bintang menjadi lebih intens. Walaupun isinya tidak akan jauh dari pekerjaan—kabar dari Bintang yang hendak take off atau baru landing, kabar dari Aslan yang siap masuk OK atau selesai operasi—tetapi mereka menikmati semuanya. Jika luang tetapi terpisah jarak, Aslan dan Bintang sama-sama lebih suka mengabari lewat telepon.
Aslan mengetuk daun pintu sebentar, lalu memasuki ruang rawat di lantai 3. Dia tersenyum pada semua orang yang menyambut kedatangannya.
“Eh, Dokter Aslan? Silakan masuk, Dok,” ucap Pak Heri, orang tua pasien bernama Reza.
Lelaki itu melangkah mendekati brankar, di mana Reza sedang terbaring seraya memegang buku dongeng. “Bagaimana keadaan kamu sekarang?”
“Tadi sore sempet muntah, tapi sekarang udah lebih baik, Dok,” jawab bocah 6 tahun itu.
Meski samar, terdengar helaan napas panjang dari bibir Aslan. Hatinya berdenyut nyeri mendengar penuturan sang pasien. Namun, dia tetap tersenyum dan berkata, “Setelah operasi nanti, kamu gak akan muntah-muntah lagi. Gak akan pusing sampai kejang-kejang lagi. Kamu akan sembuh dan bisa main kayak anak yang lain.”
“Beneran, Dok?” tanya Reza dengan mata berbinar.
Aslan mengangguk mantap. “Beneran, dong.”
“Asyik!” seru anak itu. “Kalau nanti aku udah sembuh, aku mau main ke kebun binatang sama kemping. Mau ke pantai juga, main pasir sama Mama Papa.”
“Kalau Reza semangat begitu, Om Dokter jadi mau kasih hadiah, deh,” ucap Aslan. Dahinya berkerut, telunjuknya juga mengetuk-ngetuk dagu, selayaknya orang berpikir keras. “Gimana kalau Om Dokter belikan sepeda. Mau?”
“Mau banget!” Reza terpekik senang. “Dari dulu, aku selalu pengen main sepeda sama temen-temen. Tapi, Mama gak pernah kasih izin. Katanya, takut kenapa-kenapa. Minta dibeliin juga gak pernah ngasih,” adunya pada Aslan. Lalu, dia melirik sang mama yang sedari tadi berdiri di sampingnya. “Nanti Mama gak usah khawatir, ya? Aku pasti sembuh, pasti sehat kayak temen-temen yang lain. Aku gak akan ngerasain sakit lagi.”
Ibu Kiki mengangguk seraya mengusap air matanya. Beliau pun menarik Reza ke dalam dekapan. “Iya, Sayang.”
Aslan hanya bisa tersenyum getir melihat pemandangan itu.
Dari dulu, hatinya selalu lemah jika berhadapan dengan pasien yang masih di bawah umur. Tatapan polos mereka, suara riang mereka, juga senyum ceria mereka selalu membuat Aslan sakit hati. Mengapa Tuhan memberikan ujian yang begitu besar untuk makhluk tak berdosa seperti mereka? Hati mereka begitu suci. Bahkan, masih bisa tersenyum sembari berceloteh setelah rambut indah di kepala mereka dipangkas habis untuk keperluan operasi.
Walaupun hatinya sakit, Aslan selalu berusaha menguatkan diri sendiri. Ia tidak boleh lemah, tidak boleh kehilangan fokus sebagai seorang dokter. Esok hari, tangan, otak, dan kemampuannya harus bisa menyelamatkan nyawa pasiennya. Aslan harus bisa menyudahi penderitaan mereka yang amat menyakitkan selama ini.
“Aslan?”
Lelaki itu pun menoleh saat namanya dipanggil. “Ya?”
Chelsea tersenyum hangat pada lelaki itu. Lalu, ia melangkah masuk, tidak lagi hanya mengintip dari balik pintu. “Kamu di sini juga? Aku kira udah pulang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly to You [Tamat]
RomansaApa yang salah dari status lajang di usia 30 tahun? Apakah itu adalah sebuah kesalahan besar sampai orang-orang di sekitar terus bertanya kapan menikah? Hanya karena belum memiliki pasangan, hidup Bintang Skylar tidak menyedihkan sama sekali. Justru...