1 - Impian

344 7 0
                                    

September, 2012


AURORA meneguk air mineral dalam botol minumannya. Sepanjang pelajaran Matematika, ia ingin sekali merebahkan tubuhnya di meja. Lemas letih. Lunglai. Tubuhnya seperti kekurangan vitamin saja hari ini.

Tepat setelah bel berdering, Aurora langsung meletakkan kepalanya sejenak di lembar buku pelajaran yang terbuka di meja. Ia tahu sesulit apa pun ditakdirkan hidup menjadi remaja tanpa keberadaaan orangtua, ia masih bisa berjuang dengan kakinya sendiri untuk terus bersekolah di SMA Bina Bangsa –salah satu sekolah SMA swasta favorit di Jakarta Selatan.

Namun, Aurora nggak menyangka untuk lulus dari sekolah ini saja hari-harinya di tahun terakhirnya ini akan terus dihantui oleh perasaan gagal. Kaerna kemarin ia sudah sempat dipanggil ke ruang BP gara-gara ketiduran di kelas Pak Darma –guru Matematikanya yang nggak segan-segan memberi nilai jelek di raport untuk siswa-siswi yang nggak menyimak pelajarannya. Ia bisa jadi bulan-bulanannya guru itu kalau sepanjang hari terus mengantuk dan ingin tidur.

"Ra, muka lo pucat banget? Lo langsung pulang, kan?"

"Hmm..." Aurora kembali mengangkat tangan dan kepalanya dari meja, lalu menatap Milla –teman sebangkunya. "Nggak kayaknya, Mil. Gue mau keliling dulu," serunya sambil membuka kotak bekalnya.

"Ooh..."

Aurora memang sudah dibesarkan oleh Tante Shakila sejak kecil dan dia selalu membuat camilan untuk dibawanya ke sekolah. Terkadang ia membawa roti sandwich, ubi jalar dan telur rebus, atau sosis panggang. Tapi karena sejak tadi pagi perutnya terasa mual lagi, ia belum sempat menghabiskan sepotong telur yang sudah direbus oleh tantenya sebelum ia berangkat sekolah. Dia memang perhatian sekali dan memerhatikan kesehatannya akhir-akhir ini.

Padahal semalam Aurora hanya mengeluh perutku terkadang mual setiap diisi makanan. Ditambah minum obat sirup untuk maag-nya, ia sudah berharap penyakit maag yang sedang menyerangnya berangsur pulih hari ini. Tapi sore ini ia kembali mual. Tante Shakila juga sudah melarangnya untuk berangkat ke sekolah hari ini, tapi ia tetap pergi karena khawatir jadi ketinggalan pelajaran.

Milla mendecak dan menggeleng heran. "Lo kerja keras banget, Ra. Apa lo nggak mau istirahat dulu? Lagipula lo kan bisa cari duit di hari Sabtu atau Minggu, Ra, masa lo pulang sekolah langsung cari uang. Lo nggak capek?" tanyanya semakin khawatir.

Aurora menggeleng. "Uang sekolah kita kan nggak bisa dibayar pakai koran, Mil."

"Iya, sih, Ra. Tapi kenapa akhir-akhir ini lo jadi harus cari uang sih? Jujur deh, sama gue, Ra."

Aurora meringis. Karena ia memang selalu menutupi usahanya sejak beberapa hari yang lalu sampai akhirnya Milla khawatir dan memergokinya di rumah saat ia ingin pergi sambil membawa gitarnya. "Soalnya pendapatan Tante Shakila lagi krisis, Mil. Jadi gue mau cari tambahan biaya sekolah untuk bulan depan. Lumayan. Buat duit jajan sendiri juga, kan..."

Ya. Tante Shakila memang sudah seperti malaikat yang mau menolong dan merawatku hingga aku bisa sekolah di tempat yang terbaik. Aku harus membalas budi baiknya dengan membantunya mencari uang sendiri. Karena aku sudah tinggal bersama mereka ketika ayahku meninggal. Ada pendarahan hebat pada paru-parunya saat mobilnya tergelincir keluar hingga menabrak bahu jalan tol dan terbalik karena menghindari sebuah bus yang tiba-tiba berbelok. Tanteku dan Om Garra –suaminya, sudah seperti orangtua kandungku sekarang, benak Aurora kembali melanglang buana.

Milla menggeleng saat menatap Aurora. Tak habis pikir melihat perjuangannya. "Lo nggak mau pinjam duit gue aja, Ra? Biar tiap hari lo nggak perlu pulang terlalu malem?"

Lamunan Aurora seketika buyar mendengar pertanyaan Milla. Ia mencelos getir. "Sampai kapan gue harus minjem duit lo, Mil? Gue nggak mau ngerepotin lo."

Milla tertegun mendengarnya. Dari dulu, Aurora memang nggak mau menyusahkan siapa pun. "Ya, ok. Fine," ujarnya kemudian sembari kembali menggandeng lengan Aurora dan pulang. "Tapi kalau ada apa-apa, bilang ya! Gue masih coba nyari tempat yang mungkin jauh lebih baik buat lo cari uang, Ra."

AurorabiliaWhere stories live. Discover now