19 - Ternyata Dia!

60 4 0
                                    

BERJAM-JAM Aurora terus memikirkan apa penyebab bekas luka jahitan di dada Jonas. Ia ingin tahu saja. Apakah itu karena penyakit jantungnya? Atau, karena paru-parunya yang bermasalah? Tapi kalau ia mendengar detak jantungnya yang sesekali terdengar begitu cepat, mungkin jantung adalah jawaban yang tepat untuk menghilangkan rasa penasarannya.

Dengan bekas luka sepanjang itu, apa dia baik-baik saja? Ya Tuhan! Kenapa aku jadi memikirkan dia lagi? Dia pasti pulang dengan selamat kemarin. Aku nggak perlu mengkhawatirkannya begini, batin Aurora bergemuruh.

Entah kenapa Aurora jadi ingin membayangkan Jonas. Karena ia bisa merasakan perhatiannya yang bertolak belakang dengan ucapannya. Kakinya hanya sedikit terkilir, tapi Jonas terlihat khawatir sekali waktu itu.

Mana mungkin dia menyukai aku, kan? Aurora kembali melamun. Setelah kemarin mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi pergelangan kakinya, ia sudah siap sepenuhnya untuk tampil di kafe malam ini. Karena kakinya hanya perlu sedikit diolesi minyak gosok untuk ototnya yang terkilir.

Aurora melirik ke arah jam di dinding. Masih pukul setengah enam, tapi ia sudah berencana akan pergi lebih awal. Karena malam ini ia ingin tampil berbeda dari malam sebelumnya. Bukan lagi t-shirt, sweater merah bata kesayangannya, celana jins, atau gaun katun yang ia beli waktu sale di Kelapa Gading akhir tahun lalu, dan sepatu ankle boots cokelat yang akan ia kenakan. Melainkan gaun midi brukat hitam berkerah halterneck dengan panjang selutut warna hitam, serta coat dan ankle boots berwarna senada.

Tak lama setelah selesai memberi sentuhan riasan yang sedikit lebih bold dengan paduan sentuhan warna koral di sekitar kelopak mata dan pipinya, serta warna merah marun pada bibirnya, Aurora tersenyum melihat bingkai foto yang diletakkan di meja cermin riasnya. Raut wajah ayahnya saat merangkulnya ketika ia masih bayi terlihat bahagia sekali. Ia nggak akan menyerah walau kini tubuhnya seperti sebuah hp yang harus di-charge.

Aurora masih mengingat cerita Om Garra kalau ayahnya nggak pernah mengenal kata lelah walau harus bekerja sejak pagi hingga larut malam. Setiap ayahnya kerja, dia juga lebih percaya untuk menitipkannya ke Tante Shakila. Ia masih ingat beberapa waktu ketika ayahnya datang ke rumah Om Garra untuk menjemputnya. Karena terlalu sering bertemu, ia tahu Om Garra dan Tante Shakila sangat menyayanginya. Rasanya ia bisa bersemangat lagi walau hanya membayangkan saat-saat itu.

Sebab, soretadi Aurora izin pulang lebih cepat untuk menjalani terapi cuci darahnya yangkedua minggu ini. Tubuhnya sudah kembali merasakan efeknya. Sakit kepala, serta otot-otot di perut dan lengannya yang terasa sedikit keram sudah berangsur hilang. Karena ia sudah beristirahat dan mengompresnya dengan handuk hangat. Ia juga sudah minum air sesuai dengan anjuran dokternya. Menurut Dokter Ardhan, tekanan darahnya yang terkadang nggak stabil juga bisa menjadi penyebab sakit di kepalanya. Karena itu ia mulai menaati aturan untuk makan makanan yang bergizi agarberat badannya yang mendadak turun drastis kembali stabil lagi.

Tante Shakila juga sempat khawatir karena melihatnya langsung tidur di kamar. Karena setelah pulang dari rumah sakit, Aurora hanya memberikan gaji pertamanya untuk uang bulanan mereka. Walau nggak seberapa, Om Garra dan Tante Shakila sempat menolaknya. Namun, mereka mau menerimanya setelah ia meyakinkan kalau uang tabungannya masih cukup untuk kebutuhannya.

Ping! Ponsel Aurora berbunyi dan sekaligus menghentikan lamunannya. Ada WhatsApp dari Grey yang cuma ingin mengingatkan kalau ia harus menyanyi jam delapan malam ini. Sekarang baru jam lima. Sepertinya nggak akan ada masalah kalau aku berangkat lebih awal, pikirnya.

Sembari membalas pesan Grey, Aurora beranjak dari kamarnya dengan membawa gitar, dan dompetnya. Malam minggu ini akan berbeda seperti sebelumnya. Karena tadi malam lagu pertamanya telah selesai dan ia bisa menyanyikannya di panggung nanti.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now