30 - Permintaan Terakhir

83 5 0
                                    

"MAU sampai kapan tidur di sini? Aurora ... bangun!"

Aurora terkesiap dan membelalak mata heran melihat Jonas sudah bersandar di pintu kamar sambil menatapnya tajam. Dengan sigap ia mengucek matanya dan merapihkan kuncir rambutnya yang sedikit terlepas miring hingga menyisakan rambutnya yang nggak terikat, lalu terduduk di tempat tidur. Karena Jonas menghampirinya dengan setengah membungkuk agar wajah mereka sejajar dan bisa saling menatap satu sama lain dari dekat.

"Sudah sadar?" tanya Jonas.

Aurora mendengar pertanyaan dingin Jonas, dan meringis malu. Karena ia sudah ketiduran dan lupa kalau mereka masih ada di rumah ayahnya. Ia terpaksa beranjak dari tempat tidurnya, karena grogi diperhatikan Jonas seperti anak kecil yang baru bangun tidur.

"A-apa lo semalaman menunggu di luar?" tanya Aurora tiba-tiba terlupa kalau Jonas sudah mengantarnya semalam. Dan ia ketiduran di kasur ayahnya yang empuk ini.

"Aku bukan orang yang bisa mengingkari janji," jawab Jonas singkat, padat, jelas.

Aurora mendengus heran. "Kamu tahu aku nggak pernah memintamu untuk menungguku. Apa kepalamu terantuk batu besar? Sejak kapan kamu memilih untuk jadi baik seperti ini?" ujarnya merinding seketika.

"Sejak air mata kamu berjatuhan tanpa alasan yang berarti."

Aurora ingin merengut kesal, tapi ia sedang nggak bersemangat untuk menyindir balik ucapan Jonas kali ini. "Apa kamu bisa sedikit bersimpati dengan rasa kecewa yang kurasakan? Aku benar-benar tak bisa melupakan pernyataan Grey semalam begitu aja dan ... aku menemukan surat dari ayahku sewaktu aku membuka salah satu lemari dengan kunci yang kamu bilang semalam."

"Aku tahu. Karena itulah aku akan selalu ada buat gadis kesepian seperti kamu."

Kesepian, katanya? Aurora mengerjap heran. "Apa kamu tahu bagaimana rasanya kesepian?"

Jonas melengos.

Sejak kapan dia tahu semua ini? pikir Aurora hampir nggak percaya. Ah! Sepertinya semua itu nggak penting lagi. Lalu, apa mungkin kebaikannya ini karena usaha ayahku selama ini? Tapi kenapa Jonas harus mengatakan hal yang nggak masuk akal itu? Aku kan, bukan kekasihnya, pikirannya kembali melayang. Aurora memang menganggap Jonas hanya ingin membantunya karena orangtua mereka pernah bersahabat. Ya. Mungkin hanya itu. "Apa tadi kamu mau membuat janji yang baru?" tanyanya menyelidik.

"Nggak. Karena percuma aku bikin janji sama kamu," Jonas kembali ketus sambil melangkah ke arah pintu.

Ya Tuhan... Bagaimana bisa aku menyukai laki-laki seperti dia? Aurora semakin gemas melihatnya, tapi ia buru-buru mengenyahkan pikirannya sebelum terhanyut lebih jauh. Karena bagaimanapun sikap Jonas, dia sudah berbaik hati merawat rumah ayahnya ini dan membantu pengobatanku di rumah sakit. Aku khawatir dia malah meminta uangnya kembali kalau aku marah-marah.

"Aku ingin kamu ingat satu hal ini lagi."

"Hm?"

"Kalau kamu sudah menemukan kebahagiaan kamu, kamu nggak perlu mengembalikan semua yang sudah pernah aku kasih ke kamu."

"Kebahagiaan? Memangnya kamu tahu apa yang membuat aku bahagia?" tanya Aurora terheran. "Pagi-pagi sudah bicara serius seperti ini. Apa aku nggak salah dengar?"

Bibir Jonas sontak mengerucut sebal, sebelum ia kembali berdeham dan menatap Aurora lagi. "Cepatlah bersiap-siap! Masih ada hal lain yang harus kukerjakan. Aku akan mengambil pakaian ganti kamu di mobil. Lalu kita sarapan. Aku nggak mau mati kelaparan di sini hanya karena menunggu kamu tidur sampai matahari bahkan ingin memakanmu." Jonas berlalu pergi seolah hidup Aurora memang akan selesai jika ia nggak segera menuruti keinginannya.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now