BEL istirahat berdering.
Aurora telah menghubungi Grey dan meminta maaf karena nggak bisa datan ke kafe lewat WhatsApp-nya tadi malam. Walau sempat bingung dan takut untuk mendengar amarahnya, ia sungguh lega saat semuanya akan berjalan baik-baik saja. Ia hanya bisa tersenyum-senyum menatap Grey di layar hpnya, lalu kembali kusut raut wajahnya seketika saat bayangan wajah Jonas melintasi pikirannya tanpa permisi lagi.
Ugh! Kalau saja aku nggak bertemu makhluk aneh bernama Jonas itu, aku nggak akan meninggalkan kesempatan untuk menyanyi dan menandatangani kontrakku semalam. Entah kenapa Tuhan mempertemukannya dengan eksekutif muda itu.
Meski kehadirannya sudah seperti bencana, di sisi lain Aurora masih heran dengan pemberiannya. Apa dia punya hutang sama orangtuaku? Kenapa dia terus memberiku uang? Batinnya dalam hati.
Setelah Aurora pikir-pikir lagi, selain sifat Jonas yang aneh, sulit ditebak, dan mood yang bisa tiba-tiba berubah, ia sempat melihat sisi baiknya saat dia membelanya di depan teman-temannya sendiri. Apa Jonas benar-benar menyukaiku dan mau membeli perhatianku dengan uangnya? Ah, nggak-nggak.
Aurora masih terbayang-bayang di kelasnya sebelum Milla muncul dan menyusulnya sambil membawa kaca bulat kecil yang tadi digunakan untuk bercermin.
"Lo mikirin apaan sih? Gue panggil-panggil dari tadi juga," dengus Milla heran.
"Hah? Oh, nggak." Aurora hanya membayangkan sikap Jonas yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat semalam. Memang terasa ganjil, tapi... kalau Milla tahu apa yang terjadi semalam, pikiran aku akan semakin ruwet. Mungkin aku harus nunggu waktu yang tepat untuk cerita ke Milla soal Jonas. Aku masih belum tahu banyak tentang laki-laki itu. Apalagi kalau dia tiba-tiba memberikan sejumlah uang yang cukup besar semalam, aku nggak ngerti lagi apa keinginannya. Aku takut sekali memakainya. Aku harus mengembalikannya nanti, benaknya berkecamuk. Melihat sorot mata Milla yang penasaran, ia pun menggeleng cepat. "Pulang, yuk!"
Milla mengerjap heran mendengar ajakan Aurora. "Ra? Ini kan baru jam dua belas!"
"Eh, iya ya! Hahaha... Sori-sori. Gue cuma lapar kayaknya." Aurora meringis sambil mengalihkan pandangannya, dan buru-buru menggandeng tangan Milla. "Jajan, yuk!"
"Ayolah! Gue kan nungguin lo dari tadi!" Milla menaruh kaca bulatnya di saku.
Saat mereka keluar kelas, Aurora pun mulai merasakan ada yang aneh. Entah kenapa ada yang sedikit berbeda dengan suasana di sekelilingnya. Seraya langkah kakinya menuju salah satu meja kantin, setiap mata yang memandang seakan tertuju ke arahnya seolah-olah ia sudah berubah menjadi bidadari yang sangat cantik dan langka di sekolah ini.
"Mereka kenapa sih?" tanya Aurora penasaran.
Milla mengangkat bahunya sambil menatap ke sekeliling mereka dan mulai ikut menyadari kalau tatapan anak-anak seolah merasakan ada yang aneh dengan diri mereka. "Nggak tahu. Lo belum mandi ya, Ra?"
Aurora menggeleng. "Masa iya gara-gara itu?" Pertanyaan Milla sungguh nggak masuk akal. Karena ia merasakan bukan karena itu mereka memerhatikannya.
"Apa seragam lo belum dicuci?" canda Milla semakin menjadi-jadi.
Aurora sontak mencium lengan baju seragamnya dan terkuak aroma wangi mawar pengharum bajunya. "Wangi kok!" dengusnya tersadar. Ia nggak mungkin menaruh seragamnya yang kotor atau belum dicuci di lemari. Karena tadi pagi ia memang baru mengambil seragam bersih yang sudah terlipat rapih dari lemari pakaiannya.
"Yaa, terus kenapa lo ikut bingung?! Cuekin aja sih! Mungkin mereka baru nyadar kalau kita itu cantik!" Milla malah bergaya sambil menyibak rambutnya.
"Hahaha... Geer banget lo?!" cibir Aurora heran.
YOU ARE READING
Aurorabilia
RomanceAku pikir, cepat atau lambat kehidupanku akan berakhir. Jadi nggak ada yang perlu aku takutkan lagi. Toh semua orang akan mati juga. Aku hanya merasa hidupku akan jadi jauh lebih baik jika Tuhan mencabut nyawaku.... ~Aurora, gadis berusia 18 tahun. ...