22 - Kamu Dan Harapan

52 4 0
                                    

KANTUNG mata Aurora terlihat sedikit menggelap. Jam-jam pelajaran yang dilaluinya hari ini hanya sekadar numpang lewat saja di otaknya. Ia sudah melamun sepanjang pelajaran.

Setelah memberi salam hormat saat pelajaran Pak Darma telah usai dan berganti dengan dering istirahat, pria bertubuh kurus itu langsung keluar dari kelas sambil membawa buku ajarannya.

Sementara Aurora masih saja menatap papan tulis sambil memangku tangannya. Sudah beberapa malam Aurora terjaga karena nggak bisa mengenyahkan pikirannya tentang orangtua Jonas, dan bantuan yang akan diberikan oleh mereka. Tapi bukan hanya itu yang ada di benaknya sekarang. Karena ia merasa pernah melihat Papa Jonas sewaktu mereka ada di pemakaman beberapa tahun yang lalu.

Usia Aurora baru 8 tahun saat itu, dan anak laki-laki itu mungkin sekitar 14 atau 15 tahun. Kalau dipikir lagi, ia merasa usia Jonas sekarang mungkin sudah kisaran 24 atau 25 tahun. Ia sedikit yakin alasan Jonas bisa memegang kotak musik yang sama seperti miliknya, karena dia adalah anak laki-laki itu. Ia melihatnya dengan jelas saat kotak musik itu ada di mobil Jonas. Apa dia nggak ingin aku mengharapkannya karena penyakit yang dideritanya?

Orangtua Jonas, kesedihan anak kecil itu, kotak musik dengan model dan bentuk yang sama, serta wanita yang ada dalam mimpi Aurora selama ini semakin membuat pikirannya nggak berhenti berputar-putar. Apa semua ini ada hubungannya dengan ayahnya?

Kenapa Papa Jonas terlihat begitu familiar dalam ingatan Aurora? Ia terus bertanya-tanya sendiri. Apakah aku benar-benar mengenal pria paruh baya dan Jonas sejak lama? Rasanya aku memang pernah melihatnya waktu aku dan Jonas masih kecil. Apakah Jonas memang anak laki-laki yang dulu menangis di tempat pemakaman?

Aurora terus menggali ingatannya. Namun, kepingan kejadian di masa lalunya terasa begitu abu-abu dan rapuh. Ia nggak bisa memastikan apa anak laki-laki itu memang Jonas? Karena ia nggak tahu siapa namanya. Seandainya mereka mau mengatakan apa yang sedang terjadi sebenarnya, ia nggak akan bingung seorang diri seperti ini.

Sejauh aku mencoba untuk mengingatnya, aku semakin nggak bisa menjelaskan siapa anak laki-laki itu. Apa dia juga akan menyimpan kotak musiknya sampai sekarang? Kalau memang anak itu adalah Jonas, apakah dulu dia sedang bersedih karena penyakitnya? Anak itu terlihat pemurung dan menjauh dari keluarganya. Ah!

Aurora semakin bingung memikirkan masalah ini. Karena ia hanya ingat rambut anak laki-laki itu juga terlihat kaku dan berdiri seperti pucuk buah nanas. Ia sempat ingin bertemu lagi dengan anak itu, tapi pertemuan mereka benar-benar hanya di waktu sore itu saja.

Kalau anak itu adalah Jonas, apa dia masih mengingatku? Kalau dia masih mengenang masa itu, seharusnya dia bersikap baik denganku. Tapi rasanya tadi malam dia masih saja seperti hari-hari sebelumnya. Selalu marah. Menyebalkan. Keras kepala. ANEH! Entahlah. Rasanya seolah aku nggak akan bisa menemukan jawaban tentang mimpiku itu, anak kecil itu, rasa terkejut orangtuanya saat melihatku, ataupun sikap Jonas selama ini. Apa aku mulai berharap dia...

"Eh, Ra!" seru Milla membuyarkan lamunan Aurora.

"Aduh, Mil! Bikin kaget aja," pekik Aurora sambil menatap Milla terheran.

"Abisnya gue panggil dari tadi juga. Katanya, si pirang nyari gara-gara lagi ya sama lo?" tanya Milla penasaran.

"Cuma salah paham," Aurora menggeleng dan tiba-tiba teringat dengan kejadian kemarin. "Oh, ya! Grey pernah telepon lo ya, Mil? Kalian bertukar nomer telepon di mana? Kok lo nggak pernah cerita ke gue kalau dia ngehubungin lo?" cecarnya semakin ingin tahu.

Milla terkesiap dan menggaruk rambutnya yang seringkali dikuncir dengan karet. "Hehehe... Iya, Ra. Sori... Jadi waktu... umm... sehari setelah lo nyanyi di kafe, dia datang ke sekolah. Katanya, dia tahu sekolah kita karena pernah lihat seragam lo waktu lo cari uang di jalan."

AurorabiliaWhere stories live. Discover now