27 - Dia Tahu

44 5 0
                                    

AURORA nggak sengaja menjatuhkan air matanya. Ia ingin sekali membuka mulutnya dan memecah keheningan yang menyeruak antara mereka. Tapi kenangan yang pernah tinggal dalam benaknya seakan kembali mengurungkan keinginannya. Perasaannya terombang-ambing dengan rasa sakit dan penasaran.

Rasanya Aurora masih sulit percaya dengan kata-kata Grey. Sekuat apapun ia berusaha untuk nggak percaya apa yang sudah terjadi dalam hidup keluarga mereka, serpihan kecil kenangan yang selalu muncul dalam mimpinya seakan membuat hatinya luluh untuk menganggap Grey telah mengatakan hal yang sebenarnya tentang keluarga mereka.

Aurora menoleh ke arah Jonas. Namun, laki-laki itu masih terdiam dengan sorot mata yang benar-benar sulit dijelaskan lagi oleh nalarnya. Ia bingung. Ia penasaran. Entah bagaimana menjelaskan isi hatinya saat ini. "A-apa yang dia katakan tadi, Jonas? Apa kamu juga tahu tentang masalah ini," tanyanya memberanikan diri.

Tapi Jonas hanya bergeming dan meluruskan matanya jauh ke jalan di depannya. Raut wajahnya terlihat masih penuh emosi.

Aurora ingin sekali tahu apa yang telah terjadi, tapi ia merasa sikap Jonas malam ini sudah menjadi sedikit jawaban untuknya. "Kalian ... kenapa harus menyembunyikan semua ini dariku?" tanyanya penasaran dan menggeleng heran.

Jonas terus terdiam. Karena ia nggak tahu bagaimana bisa menjelaskan apa yang sudah ia lakukan demi bisa melindungi Aurora. Selain membenarkan kata-kata Grey kalau dirinya nggak berhak ikut campur dengan masalah mereka, ia juga nggak ingin melihat gadis itu semakin bersedih setelah mengetahui apa yang pernah terjadi pada keluarganya dulu. Karena ia telah mendengar semua dari ayahnya tentang apa yang pernah terjadi di pemakaman sekitar 11 tahun yang lalu sepulang pertemuan mereka dengan Aurora, dan ia hanya berusaha mencari sisa-sisa kenangan yang ditinggalkan keluarga gadis itu.

Sekilas Jonas semakin sulit menahan emosinya ketika ia menatap Aurora dan menangkap kebencian besar dalam sinar mata gadis itu. Ini kali pertamanya ia merasa sulit untuk mengatakan apa pun lagi di depannya. Tapi ia harus memberitahu apa yang ia ketahui. Mungkin hanya ini cara yang bisa membantu melepaskan kepenatan yang melanda pikiran mereka sekarang. Ia harus membiarkan gadis itu tahu.

"Maaf, Aurora. Aku nggak mau mengatakan yang sebenarnya, karena kukira dia ... maksudku, Grey, nggak akan bertindak sampai sejauh ini. Aku nggak bisa melarangnya lagi. Karena dia memang pernah mencari tahu di mana kamu lahir, Aurora. Aku ... pernah melihatnya saat aku memeriksakan kondisi kesehatanku. Pasti kamu masih ingat waktu kita bertemu di rumah sakit dulu. Ketika itu, aku memang sedang lari dari asistenku dan setelah keluar dari ruangan kamu, aku nggak sengaja mendengar percakapannya dengan seorang dokter kandungan yang mengenal keluarganya dan dia menyebutkan nama kamu," Jonas menghela napas sejenak sebelum ia kembali berkata, "Kali ini kamu harus memercayainya. Aku tahu dia nggak berbohong. Karena ... Theo Baren Adhiwan, mendiang ayah kamu telah bersahabat baik dengan papaku."

Aurora terkejut sekali mendengarnya. Karena ia hampir membenci Grey. Karena kalau ia adalah bagian dari keluarganya, seharusnya ia nggak menutupi masalah keluarga mereka sejak dia mengenalnya dan tahu kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu. Apa Grey benar mencari tahu tentang aku dan ada masalah yang belum kuketahui lagi? Lalu, bagaimana Papa Jonas bisa mengenal ayahnya? Apalagi yang dia tahu? Pikirnya semakin penasaran.

"Waktu kita masih kecil, aku sudah menganggap penyakit yang telah menyerang kesehatanku adalah sebuah kutukan untukku. Namun, kamu memberikan aku kotak musik yang bisa menghiburku setiap saat. Kamu tahu, sore itu aku baru pulang memeriksakan kondisiku di rumah sakit dan kami telah mendengar kecelakaan yang menimpa ayahmu. Namun, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi pada hidup kalian setelah kami pergi dari pemakaman itu. Karena setelah ayahku ikut membantu segala urusan pemakaman dan proses investigasi kecelakaan lalu lintas yang terjadi waktu itu, aku harus melanjutkan sekolah di Jerman. Yang kudengar, mereka telah menutup kasus itu karena mereka yakin kalau kejadian itu murni kecelakaan."

Aurora nggak bisa lagi membendung rasa terkejutnya mendengar cerita Jonas. Hatinya kembali terasa pilu mengingat kecelakaan yang menimpa ayahnya dulu.

"Seharusnya kamu nggak mendengar semua ini dariku. Aurora... kalau kamu masih ingin tahu lebih banyak, kurasa kamu harus kembali ke rumah ayahmu. Aku sudah menemukan alamatnya dari informasi yang kudapatkan dari ayahku. Tapi ... ada yang harus kamu tahu tentang rumah itu."

Ucapan Jonas seakan kembali menciptakan jurang besar antara mereka. Bibir Aurora terasa kelu sekarang. Ia hanya bisa membalas tatapannya tanpa satu kata pun. Tapi ia tahu kalau Jonas mengerti dengan rasa penasarannya yang sulit ia sembunyikan dari wajahnya ini.

"Om dan Tante kamu sudah membiarkan rumah itu kosong selama bertahun-tahun. Tapi aku sudah meminta beberapa orang untuk membersihkannya dan menjaga rumah itu agar kamu bisa tinggal di sana lagi sewaktu-waktu," Jonas kembali menarik napasnya dalam-dalam seakan ingin menghilangkan beban yang menghimpit dada untuk waktu yang tak sebentar. "Sudah lama ... nggak ... Aurora, sudah terlalu lama mereka berbohong tentang keberadaan keluarga kamu. Om dan Tantemu itu memang nggak seperti yang kamu pikirkan selama ini."

Semakin cepat mobil Jonas melaju, Aurora semakin menyadari kalau mobil ini nggak mengarah menuju rumahnya, melainkan ke sebuah komplek perumahan yang ada di Jakarta Selatan. Ia benar-benar belum tahu jika Jonas nggak menyebutkan rumah ayahnya malam ini. Kemungkinan mobilnya sedang menuju ke sana.

"Kali ini kamu harus berterima kasih sama aku, karena aku sudah berusaha mencegah hal ini terjadi. Grey sama sekali nggak tahu tentang penyakit kamu. Karena itu dia ingin menarik perhatian orangtuanya agar bisa menjemput kamu," seru Jonas sambil mendengus. "Jangan kamu pikir aku melakukannya dengan gratis. Ya ... anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena kamu telah menghibur rasa sedihku waktu kecil, dan karena mereka telah merawatmu hingga kamu tumbuh menjadi gadis yang cukup merepotkan."

Aurora mencelos heran. Bisa-bisanya Jonas becanda dengan perasaan kecewaku. Tapi ... kalau nggak ada dia, aku nggak tahu harus berterima kasih sama siapa. Entah bagaimana perasaanku sekarang. Hari demi hari, sepertinya rasa sayangku padanya kian bertambah besar. Sampai-sampai aku nggak peduli apa yang dia rasakan padaku hingga saat ini, hati kecilnya kembali membatin. Sepertinya ia hanya perlu bersyukur karena bertemu Jonas. Ia yakin Tuhan tak akan memberinya masalah tanpa jalan keluar. Ia pasti bisa melalui semua ini.

Beberapa menit kemudian, mobil Jonas sudah berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua. Saat Aurora mengikuti Jonas turun dari mobil, ia hanya memerhatikan rumah itu tanpa kata. Di matanya, rumah bergaya klasik Jerman itu memang nggak terasa asing lagi. Ia nggak perlu berpikir terlalu keras untuk mengingatnya. Dominasi dua pilar putih, jendela besar, dan dinding bata yang dipenuhi tanaman merambat itu terlihat terawat dan cantik sekali.

Perbedaan yang terlihat pada rumah itu mengubah suasana hati Aurora yang kelam menjadi hangat. Jonas telah menepati apa yang telah dikatakannya. Karena tanpa satu orang pun yang tinggal di sana bertahun-tahun, pasti sudah membuat kondisinya kotor dan penuh debu. Namun, cahaya terang yang mengintip dari gorden transparan rumah itu sudah membuat penampilan luar dan seisinya terlihat nggak begitu menyeramkan lagi. Halamannya juga diterangi oleh lampu taman, serta tanaman-tanaman hias, dan rerumputan hijau yang tumbuh di sepanjang dinding berpagar kayu cokelat yang nggak terlalu rapat. Terlihat menyejukkan dan indah.

Saat Aurora berusaha menguatkan keyakinan untuk menjejakkan kakinya di halaman rumah itu, seorang satpam yang mengenali wajahnya langsung membukakan pintu pagarnya. Diliriknya Jonas yang hanya bersandar di pintu mobilnya sambil mengukir satu-satunya senyum terdatar yang untuk pertama kali ia bisa melihat senyum itu diberikan untuknya.

"Aurora...."

Aurora kembali menoleh dan menatap Jonas yang kini menghampirinya.

"Dulu. Aku menemukan kunci di kotak musik ini. Mungkin kamu lebih tahu fungsi kunci itu." Jonas meraih tangan Aurora seraya ia memberikan kotak musik ke tangan gadis itu. "Karena kamu lebih membutuhkannya, aku kembalikan...."

Tak terasa air mata Aurora menetes. Tapi cepat ia menyekanya dan menatap Jonas.

"Masuklah ke rumah itu. Aku akan menunggu di sini."

Aurora mengalihkan matanya ke rumah itu lagi dengan raut sedihnya.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now