6 - Hari Pertama Di Kafe

104 8 0
                                    

One Music Café & Lounge, Jakarta Selatan...


LANTUNAN musik instrumental mengiringi langkah Aurora dan Milla saat tiba di kafe. Raut wajah mereka terlihat senang sekali.

Meski jantungnya sedikit berdebar, tapi Aurora berusaha menguasainya dengan tarikan napas panjang. Ia gugup sekali saat menunggu kedatangan pria itu. Karena tanpa basa-basi lagi Pak Fargo benar-benar langsung menerimanya untuk menyanyi di kafenya malam ini. Saat tiba dan menyebutkan namanya, mereka langsung dipersilakan masuk oleh salah satu penjaga pintu kafe ini.

Kekuatan ucapan Grey memang benar-benar dahsyat. Entah bagaimana caranya, kata-katanya itu bisa begitu dipercaya oleh Pak Fargo. Kali ini ia hanya berdoa yang baik-baik saja untuk acaranya malam ini. Sambil memerhatikan sekeliling ruangan ini, matanya yang ekspresif itu cukup takjub ketika mereka sudah masuk ke kafe ini.

Tempat ini memang terlihat membuat suasana hatinya tergugah. Dekorasi kafe ini terlihat unik. Karena di setiap langit-langit ruangan ini diberi sentuhan warna hitam dan dihiasi oleh lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip seperti bintang di langit.

Sementara di sepanjang lorong menuju ruangan kafe yang bercat silver ini dipenuhi oleh piringan label record, piala, dan figura foto-foto dari beberapa penghargaan yang diraih oleh para musisi dan artis yang pernah menjadi bagian dari sejarah sejak kafe ini dibangun. Karena letaknya di lantai dua satu –Asterio Building, pemandangan langit di luar jendela yang bertaburan lampu kehidupan di kota ini membuat Aurora dan Milla sudah terkagum-kagum melihat semua itu.

Atmosfir di kafe ini sungguh terasa semakin hangat saat seseorang telah naik ke panggung dan memainkan biolanya. Aurora dan Milla seketika merasakan kedamaian saat laki-laki itu menunjukkan keahliannya bermain biola. Setelah berada di dalam, mereka mendapatkan kursi yang masih kosong di salah satu sudut dekat jendela sebelah kanan. Karena di bagian tengah dan kiri kafe sudah cukup padat dengan para pengunjung. Itu pun hanya tersisa satu meja kosong lagi untuk mereka. Kini pandangan Aurora mengorbit ke segala arah, tapi ia sama sekali belum melihat Grey.

Tak lama setelah mereka duduk di meja yang diberi tanda plat akrilik hitam huruf C, seorang karyawan pria dengan setelan blazer dan kemeja hitam menghampiri.

"Selamat malam, ada yang ingin dipesan?" sapa karyawan yang masih terlihat muda itu.

"Umm..." Milla langsung membuka menu kafe. "Lo pesan apa, Ra?"

"Milkshake cho..., eh, air mineral aja, Mas... Makasih," Aurora mendadak teringat dengan penyakitnya yang baru ketahuan telah betah bersemayam di tubuhnya ini

Mendengar Aurora mengganti menunya, Milla ikut tersentak kecil. Serangan lupa ingatannya mendadak kambuh. "Aku juga mineral water aja deh, Mas."

"Oke. Dua air mineral ya. Ada tambahan?"

"Itu dulu aja. Thank you, Mas!" seru Milla.

"Oke. Terima kasih!" karyawan kafe itu langsung pergi setelah tersenyum manis dan menghentak kecil sepatu pantofelnya sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.

Aurora langsung mengernyit, heran menatap Milla heran. "Lo yakin cuma minum air putih?"

Cengiran Milla mengembang. "Iya. Nggak apa-apa. Gue masih kenyang. Sebelum jemput lo, gue memang makan dulu sih. Hehe," ungkapnya jujur. Tadinya ia hanya ingin membeli camilan. Tapi kalau Aurora nggak ikut makan, rasanya jadi nggak enak.

Sebelum Aurora memusingkannya lagi, tiba-tiba seorang paruh baya sudah menghampiri meja mereka dengan senyuman di wajahnya. Beberapa menit yang lalu, ia memang sempat memberitahu kalau malam ini akan memakai t-shirt putih, jaket jins biru muda, rok selutut dengan corak abstrak berwarna hitam putih, ikat pinggang putih, kaus kaki hitam panjang hingga sebatas rok, dan sepatu kets. Ok. Nggak selengkap itu ia memberitahu Pak Fargo. Paling nggak, dia akan mengenalinya ketika ia dan Milla tiba di kafe ini.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now