Bab 29

1K 139 18
                                    

Setelah mengambil napas dalam, Hinata mengangkat kaki kanannya untuk menaiki jendela, tapi diurungkan ketika tanpa sengaja balok kayu yang menyangga jendela itu terjatuh dan hancur di atas vaping. Melihat itu Hinata hanya bisa menelan ludah dengan susah payah. Ia berbalik lalu berjongkok dengan jantung yang berdebar kencang.

"Aku tidak sanggup."

Untuk sejenak, ia setia dengan keadaannya yang seperti itu. Sulit rasanya untuk berbuat hal gila walau sudah berusaha meyakinkan diri. Ini pertama kalinya ia dalam situasi sulit, bahkan terpojok dengan konsekuensi yang tidak main-main karena nyawa adalah taruhannya.

"Ini gila ...."

Keadaan ruangan itu tetap sama--gelap gulita--yang membedakan hanyalah udaranya yang semakin pengap karena kebocoran gas yang tidak berhenti. Walau sebuah jendela terbuka lebar, nyatanya itu tidak begitu berpengaruh.

"Ayo Hinata ... demi kak Neji ... demi kak Neji ... demi kak Neji ..."

Hinata berusaha merapalkan mantra untuk mengukuhkan tujuannya. Kali ini, ia tak boleh takut karena sang kakak jelas dalam bahaya.

Berdiri. Hinata kembali menatap kayu usang yang berhamburan di bawah. Jika dia terjatuh maka posisinya akan seperti kayu itu.

Hancur.

Maka dari itu Hinata bertekad untuk tidak terjatuh. Kembali menarik napas dalam, kakinya kini mulai menaiki jendela. Tangannya mencengkeram kuat bingkai jendela dengan gemetar. Setelah bersusah payah, akhirnya dirinya berhasil berdiri pada beton yang lebarnya sedikit melebihi panjang kakinya.

Matanya ia fokuskan pada balkon di ruangan sebelah kiri agar tak merasa takut. Punggung itu menempel pada dinding, dengan gerakan lamban ia bergeser sedikit demi sedikit demi mencapai tujuannya.

Hinata menghentikan langkahnya sejenak ketika sakit di kaki yang terbalut kain itu terasa. Berjalan di beton tipis saja sudah membuatnya kesulitan, ditambah kakinya yang cedera membuat keadaan semakin tidak menguntungkan.

Memejamkan mata sejenak seraya mengatur napas, Hinata harus berusaha tenang. Sejurus kemudian, ia kembali meniti beton itu menuju balkon di sebelah.

"Sedikit lagi ..." gumamnya ketika melihat jaraknya dengan balkon itu semakin dekat.

Usahanya tak sia-sia, kini ia sudah berada tepat di sisi balkon. Namun yang jadi permasalahannya bagaimana ia mencapai balkon tersebut sementara ada jarak kurang dari satu meter antara pijakannya dengan balkon di depan mata.

"Bagaimana ini?"

Hinata kembali bergeming, memperhitungkan cara apa yang tepat untuk meraih pagar di balkon tersebut. Jika melompat, itu sangat berisiko karena kemungkinan berhasilnya sangat tipis. Akhirnya Hinata memutuskan untuk meraih pagar tersebut dengan merentangkan kakinya terlebih dahulu sedang kedua tangannya berpegang erat pada sebuah besi penyangga. Setelah kakinya berhasil menapaki ujung balkon, kini gilirang tangan kiri yang direntangkan untuk meraih pagar balkon tersebut. Dengan bersusah payah akhirnya ia bisa meraih pagar tersebut.

Hinata mendesah lega, tapi hanya sementara karena suara desingan peluru membuat kaca di atasnya pecah dan serpihan kaca itu jatuh tepat di atasnya.

Matanya membola sempurna, posisinya yang seperti memeluk gedung itu sangat tidak menguntungkan. Dengan gerakan secepat yang ia bisa, ia bergerak menuju balkon. Kini ia mendesah lega ketika serpihan kaca itu tak menimpanya. Hanya sedikit goresan yang di dapatkan di lengan sebelah kanan.

Hinata menengadah menatap kaca jendela yang pecah tadi dengan wajah cemas,  "Naruto ..."

...

Kini, Naruto dalam keadaan terpojok akibat tembakan kedua dari Sai yang mengenai kaki kanannya. Peluru itu tidak tertancap karena Naruto berhasil menghindar, tapi sebuah goresan cukup membuat cairan kental berwarna merah itu mengalir di kakinya.

The Case ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang