Selir#18

299 70 6
                                    

Seperti biasanya Tobirama hanya akan menunggu di luar kediaman Hyuuga saat Hinata tengah bertemu dengan ayahnya.
Selain guna menjaga privasi wanita itu, dirinya juga tidak nyaman karena para pelayan Hyuuga sering menatapnya seolah-olah Tobirama seorang musuh.

Saat ini Hinata dan Hiashi kembali saling berhadapan. Pria paruh baya itu juga telah menyiapkan beberapa serbuk obat yang akan dibawa Hinata ke istana.

"Hinata," Panggil Hiashi, wanita itu langsung mendongak menatap wajah ayahnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya pria itu. Hinata tersenyum tipis, tidak biasanya pria itu menanyakan kabar dirinya.
"Aku baik-baik saja, Ayah." Jawabnya dengan lembut seperti biasa. Hiashi tersenyum tipis mendengarnya, "Syukurlah."

Pria itu kembali menatap putrinya dengan serius, dan hal itu membuat Hinata bertanya-tanya dalam hati, kira-kira apa dirinya kembali berbuat kesalahan pada pria itu?

"Hinata, bisakah kau menyingkirkan Tobirama?" Tanya Hiashi serius, Hinata yang mendengarnya langsung mendongak dan menatap ayahnya tanpa berkedip.
"Dengar, mungkin ini terlalu mengejutkan bagimu. Tapi kau tidak bisa membiarkan dia selalu berada di sisimu."
Tangan Hinata terkepal kuat, ia menundukkan wajahnya demi menghindari kontak mata dengan pria itu.
"Apa dia membahayakan rencana kita, ayah?" Tanya Hinata cukup dingin. Hal itu membuat Hiashi terkejut.
"Dia bisa saja menjadi ancaman untuk kita, kau harus ingat jika dia adalah orang kepercayaan Fugaku." Jelas Hiashi.

Hinata menganggukkan kepalanya singkat, ia kembali menatap wajah ayahnya sambil tersenyum tipis.
"Baiklah, Aku akan pertimbangkan perintah ayah." Jawabnya pelan dengan kedua tangan yang masih saling meremas gaunnya erat-erat.

Hiashi terperangah, ia tidak menyangka jika Hinata benar-benar mau mendengarkan nya. Wanita itu berdiri lalu membungkuk hormat pada Hiashi, pria itu juga balas memberi hormat.

"Jangan lupakan obatnya, Yang Mulia." Ucap Hiashi sembari menyerahkan bingkisan kain coklat pada Hinata. Wanita itu tersenyum tipis,"Baik ayah."

Setelah itu Hinata berbalik dan keluar meninggalkan ruangan ayahnya dengan wajah yang keras dan sorot matanya yang tajam.

Di luar, Tobirama telah menunggu Hinata sambil menyandarkan tubuhnya pada badan kereta kuda milik wanita itu. Ia memejamkan kedua matanya dan mencoba untuk menajamkan pendengarannya pada sekitar.
Dan tidak menunggu lama lagi, Hinata telah kembali muncul di depannya.

"Kau sudah selesai?" Tanya Tobirama dengan kedua mata yang masih terpejam. Hinata tersenyum tipis, ia semakin mendekatkan tubuhnya ke hadapan pria itu.
"Sudah. Ayo kita pulang!" Ajaknya dengan suara manja. Tobirama mengangguk tipis, kemudian ia pun kembali membuka kedua kelopak matanya. Ia bergerak dan mempersilakan Hinata untuk menaiki kereta. Sedangkan dirinya beralih menunggangi kuda untuk memimpin perjalanan.

Di sepanjang perjalanan mereka untuk bertolak ke istana, Hinata menatap lurus pada punggung Tobirama yang berada di depan sana. Ia kembali mengepalkan kedua tangannya, hingga tanpa sadar sebelah matanya mengeluarkan air mata.
Hinata dengan cepat menyeka nya, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menangis.

"Maaf ayah, tapi kali ini aku tidak akan menuruti permintaan mu." Bisiknya pelan dengan kedua mata yang menatap Tobirama dengan nanar.
"Karena dia begitu berarti bagiku."

**

"Aku dengar rumor yang kurang mengenakan tentang Ibu." Ujar Itachi pelan namun tegas. Ia kini tengah menemui Mikoto setelah dirinya mendengar kabar bahwa wanita itu sempat melabrak selir agung di kediamannya.

Mikoto terdiam sambil menyesap teh nya, kedua iris hitamnya menatap Itachi lelah. Putra kesayangannya itu telah banyak berubah semenjak dekat dengan Hinata. Dan itu membuat dirinya semakin membenci wanita itu.

Selir : The Bloody CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang