23 - Titik Terendah

53 10 2
                                    

Faktanya setiap hari tidak hanya ada kebahagiaan, namun juga kesedihan. Ada kalanya manusia sangat bahagia pada suatu titik, tetapi ada juga titik terendah yang harus dilalui.

Mau tidak mau, hal itu pasti akan menghampiri siapa saja.

Bertahun-tahun berlalu, hingga empat sahabat itu kini duduk di semester akhir yang setiap hari harus bergelut untuk merampungkan skripsi mereka. Selama hari-hari berlalu, hubungan mereka kembali membaik seperti dahulu, seperti tak ada kata cinta yang pernah terucap.

Liam yang jenius, hanya perlu menunggu jadwal sidang skripsi. Meski ia sering bolos kuliah, namun nilainya selalu istimewa. Bahkan di saat dia sibuk konser keliling dunia, dia mampu merampungkan skripsnya sebelum empat tahun.

Glenn calon dokter, bersiap dengan KOAS nya di salah satu rumah sakit. Glenn bertahun-tahun kuliah menjadi mahasiswa terbaik hingga banyak beasiswa menghampirinya untuk studi lanjutan dalam program spesialis.

Beno tidak usah ditanya, skripsinya belum tersentuh sama sekali karena bertahun-tahun berpacaran dengan Verika tetap menjadikannya lelaki bucin. Sedangkan Verika, meski ia berpacaran dengan Beno ia sudah hampir menyelesaikan skripsinya. Ia sudah tak tahan mendengar omelan orang tuanya untuk menyuruh cepat-cepat lulus lalu kembali ke kampung halamannya di Jogja.

Kemudian Haruka, dia usai melakukan sidang sempro atau seminar proposal, dalam arti lain Haru sepadan dengan Verika. Ia sudah menyelesaikan bab satu hingga bab tiga. Tinggal menambah bab empat dan bab lima, kemudian sidang skripsi dan Wisuda, maka dia juga akan menjadi seorang sarjana.

Meski ia tak sepintar Glenn dan Liam, ia berniat menyelesaikan skripsinya tepat waktu agar tidak menjadi beban keluarga. Namun takdir hidupnya berkata lain. Ada suatu hari saat ia sedang bahagia dengan hidupnya, tetapi tiba-tiba terjatuh dan hilang tanpa arah karena mendapat kabar mengejutkan.

"Bunda?"

Malam hari jantungnya berdetak kencang, di dalam mobil yang Beno hatinya berdetak kencang, meski ia tidak menangis namun siapa saja bisa melihat ia sedang dalam masa yang sulit.

"Bunda pasti baik-baik aja," ucap Beno sambil menepuk-nepuk bahu Haruka yang kini duduk di sebelahnya.

Haruka berusaha tersenyum, pikirannya kacau balau.

Beno memarkir mobilnya. Usai terparkir, mereka berdua turun dari mobil dan melangkahkan kaki di tengah ramainya Rumah Sakit yang kini penuh dengan pasien-pasien bertarung nyawa melawan sebuah virus yang tengah menggemparkan dunia.

Tidak lupa menggunakan masker untuk mencegah penularan virus yang mematikan, mereka berjalan ke arah IGD. Tiba di depan IGD, Ayah terlihat menelpon seseorang dengan mata sembabnya.

"Bunda mana, Ayah?" tana Haru yang terlihat begitu tegar saat ini.

"Di dalam, di dekat ruang perawat. Sana," ujar Ayah menyempatkan diri menjawab di tengah pembicaraannya.

Haruka memasuki ruangan IGD yang begitu ramai, pasien-pasien bergelimpangan. Seketika rasanya jantungnya berhenti berdetak, tidak hanya manusia bertarung nyawa di dalam ruangan IGD yang kini begitu penuh itu, namun beberapa manusia tidak bernyawa juga ada di dalam sana. Mayat-mayat itu hanya ditutupi selimut Rumah Sakit.

Langkah kaki membawanya ke sebuah bilik yang hanya tertutup sebuah gorden diantara pasien-pasien lain.

Hatinya hancur, Bunda yang kemarin tidak ada masalah dengan kesehatannya kini menggunakan alat bantu pernafasan untuk bertahan hidup. Mata Bunda tertutup, perut Bunda naik turun karena paru-paru Bunda penuh dengan flek virus yang menempel. Bunda bernafas menggunakan mulutnya saat ini, mungkin pernapasan melalui lubang hidungnya sudah tak bisa mencapai kadar oksigen dalam tubuh.

Feel My Rhythm Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang