Aku tau ini terlambat tapi akan aku lakukan apapun untuk kita, kamu cukup diam biar aku yang berjuang.
-Mahendra Vega-~••~
Awal bulan Desember, hujan mulai terasa mengguyur jalan-jalan kota. Renika tergugu berdiri di depan toko buku tutup, tadi sehabis dari pemakaman dirinya tidak langsung bergegas pulang seperti apa yang dia katakan pada Rosetta, atensinya teralih pada gitar yang berjajar di salah satu toko di antara ruko-ruko disini. Dirinya teringat Mahendra, lebih tepatnya seolah dia menemukan Mahendra pada masing-masing gitar yang terpajang. Mahendra yang tertawa, menyanyi, tersenyum, bahkan sekedar Mahendra yang menatap gamang ke arahnya. Ada sedikit kekhawatiran saat seolah dirinya tidak bisa benar-benar lepas dari kungkungan pria itu meski saat sendirian.
Renika terlonjak kaget saat sebuah jaket tersampir di bahunya yang begitu kedinginan, Renika mendadak bisu mendapati Mahendra tengah menatap khawatir kearahnya.
"Kemeja tipis kayak gini gak mungkin bisa bikin kamu hangat."
Setelah mengatakan kalimatnya Mahendra membawa tubuh Renika masuk dalam pelukan hangat miliknya, sesekali pria itu mengusap kepala Renika sayang dan jangan lupakan kecupan penenang di pelipisnya.
"Maaf ya, harusnya aku gak ingkar janji. Kamu harusnya sekarang udah di rumah kalau tadi perginya sama aku."
Bukan sebuah pembelaan melainkan sebuah penyesalan, ada bongkahan besar kala tadi sore Bintang mengingatkan untuk menghubungi Renika dan meminta maaf karena mengingkari janji mereka. Sejujurnya Mahendra tidak berniat memprioritaskan Aruna diatas Renika kekasihnya, namun tadi dirinya benar-benar khawatir sampai lupa akan janjinya pada gadis ini.
Mahendra tahu benar jika saat ini Renika kecewa berat terhadapnya yang sudah melupakan janji mereka, tapi Mahendra tidak bisa mengacuhkan itu seperti sebelumnya karena semenjak sebulan yang lalu, saat dirinya benar-benar sadar bahwa ada sepasang mata yang bisa membiusnya lebih lama dari mata milik Aruna dan juga ada sebuah hati yang harus dirinya jaga mati-matian agar tidak pergi, Mahendra memutuskan untuk menutup kisahnya dengan Aruna tuntas dan kembali menjadikan mantan kekasihnya itu teman baik. Dia harus benar-benar meyakinkan Renika untuk itu.
Sekarang dirinya harus menjaga kuat-kuat gadis ini agar tidak pergi dan mengalihkan atensinya dari Mahendra. Masih terekam jelas saat kompetisi di Luminar bulan lalu, saat tanpa sengaja dirinya menemukan sepasang mata penuh luka di tengah-tengah keramaian dan kemudian perasaan sesak menggerogoti dadanya saat punggung dalam dekapnya ini perlahan berbalik pergi tanpa kata apapun. Sejak saat itu Mahendra tau benar, perasaannya pada Renika tidak sesepele rasa suka biasa. Terkadang ada egois yang mengisi relungnya untuk mendekap Renika hanya untuknya seorang.
Sementara gumaman maaf tanda penyesalan masih terdengar lirih dari Mahendra, Renika mendadak kaku dan bisu. Dirinya seakan tuli dengan suara petir yang bersahutan, telinganya hanya mampu mendengar suara lirih Mahendra yang seolah penuh luka yang nyata. Dinginnya hujan lebat malam ini benar-benar tidak dirasakan, sebuah jaket dan juga pelukan pria ini mampu menciptakan rasa hangat yang bahkan menjalari hatinya. Lega, setidaknya Mahendra mengingat dirinya untuk beberapa saat.
"Besok-besok kalau aku udah janji kamu tagih aja, Sayang. Kamu langsung telpon aja, kalau kejadian ponselku mati kayak tadi kamu bisa telpon lewat Bintang, jangan diem kayak gini."
Kecupan-kecupan kecil masih tidak berhenti, bahkan Renika merasakan pelukan pria ini semakin mengerat.
"Kamu sibuk."
Hanya kalimat itu yang mampu Renika ucapkan, bahkan nadanya bergetar mengingat kembali ucapan-ucapan kurang mengenakkan tadi pagi. Renika berusaha mati-matian menekan rasa sesaknya agar tidak luruh.
"Gak ada yang namanya sibuk kalau buat kamu, Sayang."
"Bintang tadi bilang kemungkinan besar kamu gak bisa nganterin aku karena jagain Kak Aruna."
Nadanya lirih mengadu, seakan Mahendra bisa mendengar rasa sakit itu terhenti di kerongkongan milik gadisnya. Rasa sesaknya semakin menjadi, tidak bisa terus seperti ini.
Mahendra melepas pelukannya, memberikan sedikit jarak hanya untuk mencoba menatap mata kelam yang saat ini tidak bisa dia lihat karena menunduk.
"Udah berapa kali sih aku nyakitin kamu, Yang? Sesekali kamu marah gitu sama aku, pukul kek atau apalah itu. Jangan diem aja, kamu berhak marah."
"Kak..."
Renika mendongakkan takut-takut menatap mata yang sedari tadi menatapnya dengan penuh sayang.
"Aku punya hak buat marah emang?"
Seperti ada ledakan dahsyat di dalam diri Mahendra, pertanyaan macam apa ini? Tentu saja Renika berhak marah bukan? Gadis ini kekasihnya dan bukan hal tabu jika dia marah karena Mahendra mengingkari janji.
"Kan aku udah bilang, aku gak akan marah kalau kamu masih lebih prioritasin dia, aku udah janji buat gak tanya apa-apa soal kalian. Bukannya aku udah gak ada hak buat permasalahin ini ya, Kak?"
"Yang..."
"Aku udah janji jadi-"
Ucapannya terputus, Mahendra membungkam bibir gadis itu agar tidak melanjutkan kalimatnya. Kalimat yang akan semakin menyakiti gadisnya, bahkan mereka berdua.
Sebuah kecupan ringan benar-benar mampu membuat Renika semakin tak berkutik, Mahendra sedikit merundukkan diri sekedar menyejajarkan kepalanya dengan milik Renika.
"Lupain kata-kata itu, aku bener-bener gak habis pikir gimana bisa kamu enteng banget bilangnya. Aku aja kebakaran jenggot tiap liat kamu bareng Gabriel, gimana kamu bisa biasa aja kalau liat aku sama Aruna? Jangan ngotot sama janji sialan itu, kamu ini pacar aku! Kamu bukan simpenan ataupun selingkuhan."
Meskipun perkataannya lirih dengan beberapa kali penekanan tapi Renika bisa membaca ada amarah yang tersimpan dibalik sorot mata Mahendra, hanya saja-- Renika tidak tau amarah itu untuk siapa. Dirinyakah?
Setelahnya hanya keheningan yang tersisa, Mahendra sempat mencuri satu kecupan lagi sebelum kembali mendekap Renika dengan erat. Karena tadi dirinya menggunakan motor jadi Mahendra akan menunggu sampai hujan sialan yang membuat kekasihnya kedinginan ini mereda, dia tidak mau membuat Renika sakit esok hari karena memaksa mengantar gadis ini saat hujan sedang deras-derasnya.
Setelah hujan benar-benar reda Mahendra membenarkan jaket miliknya di badan Renika, kemudian menggenggam tangan mungil itu menuju tempat motornya terparkir.
Agenda menemani Renika berkunjung ke makam mamanya berakhir gagal total karena dengan bodohnya Mahendra melupakan saat penting seperti ini. Akhirnya pria itu membawa Renika makan di salah satu warung soto ayam sebelum mengantar gadisnya pulang dengan selamat, dirinya yakin Renika belum makan dari siang.
"Gak usah tambah sambel sama jeruk nipis ya, Yang. Kamu belum makan dari siang nanti perutnya kaget."
Mahendra mengoceh dengan membubuhi kecap manis secukupnya pada mangkuk soto milik Renika. Sementara gadis itu hanya diam tanpa komentar apapun, sedari sebuah kecupan dari Mahendra tadi Renika seolah benar-benar bisu. Mahendra tidak banyak berkomentar juga, setidaknya gadis disampingnya ini menghabiskan semangkuk soto ayamnya, itu sudah cukup. Karena pria dengan kaos hitam bergambar tulip ini mengerti mungkin saja Renika masih enggan berbincang tindakannya atau bahkan tersimpan amarah yang semakin membesar karena dua kecupan tadi, tapi seolah tidak terjadi apa-apa Mahendra bersikap biasa saja.
Mulai dari sekarang Mahendra akan terus berusaha agar Renika tidak pergi dari sisinya. Dengan cara apapun!
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ripple || Mark Lee (Completed)✓
Fanfiction//Bagian Kedua Adinata Bersaudara// [Terima Kasih Telah Hadir] Semuanya memang terasa amat menyakitkan. Tapi mencintai memang tidak akan pernah mudah di lalui. "Biarin aku jatuh cinta semauku, Kak!" YanaClandestine, February 2023.