22# Jangan Sampai Hilang

43 5 0
                                    

Kalau gak ada lo gue bisa apa, Ta? Bisa nyerah kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau gak ada lo gue bisa apa, Ta? Bisa nyerah kali.
-Nathaniel Oretha-

~••~

"Ayah sudah bilang berkali-kali untuk berubah! Fokus sama nilai-nilai kamu aja, jangan main terus yang kamu pikirkan!"

Lagi, untuk kesekian kali hanya itu yang terus saja Ayahnya bicarakan. Nilai, peringkat, siswa eligible dan terus saja berputar pada hal yang itu-itu saja.

"Kamu lihat gimana, El! Dia berusaha keras buat terus ada di tiga besar paralel, kamu lihat juga Rere dia juga berusaha buat gak keluar dari lima besar paralel. Jangan terus-terusan kayak gini, Na. Kamu itu bisa!"

Kalau ditanya apakah dirinya lelah, jawabannya pasti lelah. Nathaniel bukan seorang anak yang bisa disebut bodoh memang tapi minatnya bukan ada disana. Nathaniel sangat menyukai olahraga, dan meskipun piala kemenangannya berjejer rapi bersanding dengan piala milik Gabriel semuanya seolah tidak terlihat di mata sang Ayah.

Liburan semester telah dimulai dan dua buah raport dengan sampul berbeda tergeletak di hadapan sang Ayah. Nathaniel selalu muak dengan keadaan dimana dirinya tidak diberi celah untuk berargumen, Nathan juga ingin menyuarakan isi hatinya tapi lelaki itu memilih bungkam di samping saudaranya tanpa kata.

"Nana dapet juara satu loh, Yah, lomba futsal yang kemarin." Gabriel angkat suara setelah di rasa saudaranya tidak mau bicara sama sekali.

"Juara satu di lomba futsal gak akan berpengaruh apa-apa sama nilai, kan? Stop bela Nana, El!"

Ini adalah alasan Nathaniel merasa ingin sekali memberontak. Dia juga ingin bebas, sampai kapan dirinya harus berdiri di belakang Gabriel? Sampai kapan saudaranya akan melindunginya?

"Maaf."

Dan akhirnya satu kata itu lolos bersamaan dengan Nathan yang bangkit meninggalkan rumah dengan mengendarai motor kesayangannya. Katakanlah dirinya tidak sopan, tapi perasaannya perlu untuk di damaikan. Nathaniel butuh udara bebas, dirinya butuh tempat dimana dia bisa diterima dengan cuma-cuma.

"Bunda udah bilang kalau Nana itu beda sama El, Ayah."

"Kalau dia gak dikerasin bisa makin jadi kelakuannya."

Saat sang Ayah akan memasuki ruang kerjanya Gabriel membuka bersuara, "Sampai kapan, Ayah, terus tutup mata sama apa yang bisa Nana raih? Sampai kapan semua prestasi Nana jadi gak keliahatan buat, Ayah? Lihat, Yah! Lemari kaca di samping Ayah berdiri sekarang adalah jawaban, Nana gak pernah gagal sama sekali dia cuma perlu dikasih apresiasi kecil." sang Ayah bungkam.

"Stop buat Nana selalu terpojok, Yah. Kalau Ayah mau nilai yang tinggi El akan kasih, tapi biarin Nana keluarin semua potensi yang dia punya."

Lantas Gabriel pergi begitu saja meninggalkan orang tuanya, dirinya ingin sekali menyusul kemana saudaranya pergi tapi Gabriel selalu tidak punya jejak. Nathaniel terlalu membingungkan bahkan untuk dipahami saudara kembarnya sendiri.

***

"Sebat?" Nathan mendongak melihat uluran sebungkus gulungan tembakau di hadapannya. Dahinya sempat berkerut bingung namun setelah tau siapa yang duduk di sampingnya Nathaniel tersenyum tipis, dia lagi.

"Di kasih tau sama El?" sang empu terkekeh pelan mendengarnya.

"Sejak kapan El tau kemana lo pergi?" tanpa banyak kata Nathaniel langsung membakar ujung sebatang gulungan tembakau yang diberikan padanya. Tidak ada jawaban karena memang kenyataannya Gabriel tidak pernah tau kemana pastinya Nathan akan melarikan diri.

"Lo tau? Lo itu berharga, Nat." smirk nampak jelas di sudut bibir Nathaniel, dirinya paham maksud perkataan lelaki disampingnya ini.

"Udah berapa kali lo mergokin gue kayak gini?"

"Sering, mau cerita?" Nathan menggeleng pelan.

"Gak ada yang perlu di ceritain, masalah gue ya itu-itu aja."

Kedua anak remaja itu duduk bersisihan di tepi kolam di salah satu taman yang sering menjadi tempat pelarian bagi Nathaniel selain markas. Lelaki yang menghampiri Nathan dan menawarinya rokok adalah Bintang, sudah di katakan bukan jika mereka berdua sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya kedoknya saja yang tidak sama. Bukan kali pertama Bintang memergoki Nathan sedang berdiam diri disini, lelaki itu akan masuk ke dalam dunianya sendiri bahkan mungkin tidak akan sadar kalau tiba-tiba seorang anak melemparinya dengan bola plastik.

"Gue nyuruh Bang Jona terbang ke Chicago."

"Iya gue tau."

"Kak Hara udah pindah ke rumah suaminya."

"Gue tau."

"Semester depan semester terakhir Bang Mahen di Indonesia."

"Gue tau."

"Dan mungkin satu tahun kedepan juga satu tahun terakhir lo di Indonesia."

"Satu setengah tahun, Ta."

"Menurut gue lo udah ambil keputusan yang bener."

"Gue cuma gak punya tujuan lain, Ta. Satu-satunya cara ya ikut kemana dia pergi."

"El aman sama gue."

"Gue percaya."

Percakapan antara mereka kadang tidak bisa di cerna oleh orang lain dengan baik tapi bagi mereka berdua ada banyak sekali harapan yang tersisip di dalamnya. Kata yang terucap hanya pemanis dari maksud tersembunyi dan hanya mereka berdua saja yang mengerti.

"Lo kasih tau Bang Mahen?"

"Nggak, ini rahasia kita berempat." Nathan mengangguk percaya.

Cukup lama hening tercipta, tidak terasa satu batang dari masing-masing mereka sudah tandas. Tidak ada yang berniat menyulut batang berikutnya karena mereka merasa sudah cukup. Rokok bagi keduanya memang hanya sekedar pelarian sejenak, tidak ada yang berniat menjadi pecandu, hanya sekedar penghilang penat sesaat.

"Gue kadang ngerasa gagal jadi anak bokap."

"Gue juga ngerasa bego jadi adik."

"Gue ngerasa El jauh lebih baik."

"Tapi gue ngerasa Bang Mahen yang oon." Nathan menjitak kepala Bintang sebagai balasan.

"Gini, Nat. Gue emang gak pernah tau gimana rasanya terus di tuntut sama nilai, lo sendiri juga tau gue selalu seenaknya kalau urusan pelajaran meskipun nyantol juga diantara anak ambis. Tapi menurut gue lo kayak gini aja udah cukup, gue tau lo gak akan bisa jadi kayak Ren atau El karena Nathan ya tetep Nathan. Gak ada yang bisa gantiin lo dan emang gak bisa diganti sama siapapun. Nathaniel Oretha kembarannya Gabriel itu cuma satu, kapten futsal angkatan kita di SMA Imanuel juga cuma satu, jadi kasih tau gue kenapa lo harus ngerasa gak berguna?"

Nathaniel tidak menjawab, dirinya hanya terus bungkam menantikan kelanjutan apa yang akan Bintang sampaikan.

"Lo berharga, gue selalu bilang kayak gitu ya karena setiap kita emang berharga. Lo cukup kok, Nat, lebih dari cukup apalagi lo bisa bertahan sampai sejauh ini dengan banyak banget omongan gak enak. Tunjukin aja sama bokap lo kalau apa yang lo bisa akan jadi batu loncatan buat diri lo sendiri."

"Emang apa yang gue bisa, Ta?"

"Jadi Nathaniel Oretha, gue yakin lo bisa jadi Nathaniel Oretha."

"Karena yang lebih sakit dari kehilangan banyak hal adalah kehilangan diri kita sendiri, Nat. Gue harap lo gak akan kehilangan diri lo, karena itu jauh lebih penting dari apapun di dunia ini."

To be continue...

Ripple || Mark Lee (Completed)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang