29# Alyssum

48 4 1
                                    

Karena di dunia ini kamu bukan apa-apa tanpa harta dan kedudukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena di dunia ini kamu bukan apa-apa tanpa harta dan kedudukan.
-Arunika Alyssum-

~••~

"Gabi, stop nyakitin diri kamu sendiri! Dengan kamu yang kayak gini buat aku sedih."

"Bagus dong, Aru. Itu berarti kamu masih perhatian sama aku."

"Tolong ngerti ya? Aku sama kamu gak bisa sama-sama."

"Tapi kenapa, Aru? Kenapa harus cowok brengsek itu yang kamu pilih? Disini ada aku yang bisa bahagiain kamu."

Arunika menatap manik mata Gabriel dengan lekat. Tangannya berhenti meneteskan obat luka pada siku lelaki dihadapannya.

"Gabi, cuma dia yang bisa sama aku."

"Ya kenapa? Tolong kasih alasan ke aku biar aku ngerti letak salahnya dimana? Apa yang kurang dari aku sampai kamu gak bisa ninggalin orang yang nyakitin kamu terang-terangan kayak gitu?"

"Justru karena gak ada yang kurang dari kamu makanya aku sama kamu gak bisa sama-sama."

Gabriel memejamkan matanya erat, mencoba meredam emosinya mati-matian. Sebenarnya apa yang salah dari mereka berdua sehingga Arunika tidak bisa datang ke peluknya?

"Gabi, kamu berhak dapet cewek yang jauh lebih baik dari aku. Kedepannya kalau kamu ketemu sama dia lagi gak usah kamu peduliin, pura-pura kamu gak tau apa-apa." Arunika mulai membereskan kotak pertolongan pertama dan beranjak ke dalam rumahnya.

Gabriel terdiam menatap lurus kedepan, jalan setapak yang lengang, taman bunga yang tidak terawat, dan juga pagar besi yang catnya mulai hilang diterpa panas dan hujan bergantian. Hembusan napasnya begitu berat, Gabriel tahu benar maksud dari perkataan Arunika, gadis itu sedang merasa sangat kecil bila dibandingkan dirinya. Dia bukan anak konglomerat atau pejabat negara, Arunika hanya seorang gadis yang berusaha melawan kerasnya dunia dengan kedua bahunya.

"Aku cuma punya ini." segelas air putih tersaji disampingnya.

"Gak apa-apa, makasih banyak."

Rumah milik Arunika memang bukan rumah mewah, sebuah rumah kecil di dalam sebuah gang yang juga kecil. Perkampungan yang padat penduduk dan akrab dengan kebisingan. Rumah dengan cat yang sudah lama dan mengelupas dimana-mana, kursi-kursi usang juga keadaan yang alakadarnya. Rumah yang sangat berbeda jauh dengan tempat yang selama ini Gabriel tinggali, sebuah hunian di perumahan elit dengan fasilitas yang bisa dikatakan lengkap.

"Harusnya kamu bisa lihat dengan jelas, Gabi. Perbedaan kita terlalu kontras, kamu dan segala yang kamu punya dan aku yang gak punya apa-apa."

"Apa dengan kekayaan kamu bisa beli kebahagiaan? Nggak sama sekali. Kamu kira dengan apa yang aku punya aku ngerasa bahagia?"

"Uang memang gak bisa beli kebahagiaan tapi uang bisa buat beli segalanya termasuk martabat." Gabriel kembali menarik napasnya berat, luka-luka di badannya bahkan tidak sesakit perasaannya ketika mendengar Arunika bicara demikian.

"Sampai kapan kamu mau bahas ini terus?"

"Sampai kamu paham kalau anak pertama keluarga Oretha gak akan pernah bisa berhubungan sama anak sebatang kara yang gak punya apa-apa."

"Aru-"

"Gabi, aku bukan anak dari orang baik-baik dan kamu pantes dapetin orang yang asal-usulnya jelas."

"Kalau bisa kamu kenapa nggak?"

Arunika menarik napasnya berat, Gabriel adalah anak yang sangat keras kepala. Sejak pertama kali mereka bertemu dan sampai saat ini lelaki ini tidak banyak berubah. Tidak terasa sudah hampir dua tahun dirinya mengenal Gabriel dan seolah menyeret lelaki ini masuk dalam hidupnya yang kacau balau.

"Gabi, mau aku kasih tau satu rahasia?" Gabriel mengangguk mencoba menyamankan duduknya.

"Sampai hari ini aku gak pernah tau siapa Ayahku."

Gabriel membeku ditempatnya, tidak banyak yang dia lakukan selain menatap gadis disampingnya. Ini fakta baru yang bahkan tidak pernah terpikirkan sama sekali.

"Mama adalah korban pelecehan dan aku adalah hasil dari kesalahan itu, keluarganya anggap aku adalah aib dan berusaha untuk gugurin aku."

Matanya berkaca-kaca, ini adalah kali kedua dia menceritakan sebuah rahasia yang begitu besar. Yang pertama adalah kepada kekasihnya dan yang kedua adalah Gabriel. Ini adalah jalan satu-satunya agar si kepala batu ini mengerti apa yang Arunika lakukan adalah demi menjaga nama baik keluarga Gabriel juga lelaki itu sendiri.

"Tapi Mama gak ngelakuin itu, Mama adalah orang pertama yang menerima aku bahkan saat seluruh dunia bilang kalau aku ini gak layak. Mama adalah satu-satunya orang yang mempertahankan aku mati-matian bahkan sampai rela keluar dari rumah orang tuanya." Arunika menoleh, menampakkan senyum getir disana.

"Ini adalah rumah hasil kerja keras Mama, rumah kecil di gang sempit yang mungkin bagi kamu gak layak huni. Tapi buat aku ini adalah harta yang paling berharga dari Mama."

Gabriel masih terdiam, mencoba mencerna informasi baru dari gadis yang selalu dirinya sukai.

"Semua berjalan sangat berat buat Mama, sampai akhirnya Mama nyerah dan pergi ninggalin aku untuk selamanya. Malam itu hujan lebat dan Mama harusnya udah pulang dari tempat kerjanya, aku nunggu Mama di ruang tamu sambil terus lihat ke luar jendela buat mastiin kalau Mama pulang dengan selamat. Tapi kenyataannya malah Pak RT yang datang dan kasih tau aku kalau Mama jadi korban tabrak lari."

Air matanya luruh tapi senyuman masih bisa Arunika paksakan. Tidak tau saja jika senyum itu bahkan lebih menyayat dari pada raungan keras.

"Hari itu pertengahan bulan April dan aku kehilangan Mama untuk selama-lamanya."

Bayangan itu muncul kembali di kepala Arunika, kejadian itu sudah berlalu sangat lama tapi rasa sakitnya masih sangat menganga. Bohong jika Gabriel tidak ikut merasakan sesak. Dirinya teringat tentang ibu kandung Renika, wanita yang dirinya anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Wanita yang meninggal hampir empat tahun lalu karena serangan jantung.

"Jadi tolong untuk jauhin aku mulai sekarang, Gabi. Jangan buat diri kamu jadi kotor karena kamu masih berusaha deketin aku. Aku ini bukan siapa-siapa dan gak punya apa-apa, bahkan sesederhana Ayahku siapa aja aku gak tau."

"Apa kamu pikir dengan kamu bilang kayak gini aku akan jauhin kamu? Kamu salah, Aru. Biarpun seluruh dunia bilang kamu gak layak bagi aku kamu lebih dari sekedar layak. Kamu gak salah udah lahir ke dunia, bahkan aku yakin kamu juga berkat yang Tuhan kirim buat Mama. Buat kuatin Mama. Dan kamu juga sumber bahagia buat aku."

"Gabi, cowok yang kamu bilang brengsek itu juga punya jasa yang sangat besar buat hidupku. Dia orang yang jadi tumpuan aku setelah Mama pergi, dia udah kayak malaikat buat aku. Jadi mau kayak gimanapun dia sekarang aku akan terima dia, sama kayak dia yang terima aku di masa lalu."

"Orang yang beneran sayang sama kamu gak akan bikin kamu sakit hati, Arunika. Tolong kamu lihat dengan jelas kalau dia udah gak menghargai hubungan kalian lagi!"

"Dia kayak gitu karena bosen, Gabi. Dia butuh suasana baru."

"Bosen bukan alasan untuk gonta-ganti pasangan, kalau dia emang ngerasa bosen sama hubungan kalian dia pasti akan cari cara untuk buat hubungan kalian jadi gak ngebosenin lagi bukan malah cari cewek lain."

Arunika termenung memikirkan kalimat dari Gabriel.

"Dia gak lebih baik dari aku, Arunika. Jadi kenapa kamu gak bisa lihat aku? Kenapa kamu gak mau kasih aku kesempatan itu?"

To be continue...

Ripple || Mark Lee (Completed)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang