Prolog

3.1K 155 98
                                    

[Tentang suka, duka dan cinta pertama.]



"Maju lo, pengecut!

"Maju lo semua! Gak gentar gue!"

" Cupu lo, anjing!"

Jalanan luas nan sepi itu kini penuh dengan puluhan siswa. Ada yang membawa batu, tongkat bisbol, gir motor bahkan ada beberapa diantara mereka yang membawa senjata tajam. Kedua basis kini bersiap pada posisinya masing-masing. Di barisan paling depan, berdiri para pemimpin yang sudah siap mengarahkan basisnya.

Sebuah kode diberikan oleh masing-masing pemimpin basis dan dengan demikian, dimulailah rutinitas bulanan mereka. Tawuran, begitu orang-orang kerap menyebutnya. Bunyi bising dari gesekan berbahan besi begitu memekakkan telinga. Belum lagi erangan kesakitan dan kalimat umpatan yang menjadi pelengkap kegiatan di sore itu.

"Besar juga nyali lo nyamperin pasukan gue," ucap seorang lelaki sambil menyeringai kejam.

Lelaki di hadapannya langsung tertawa remeh. "Di kamus gue, gak ada kata gentar buat ngadepin bajingan kayak lo!"

"We'll see. Siapa yang bakal jadi pecundangnya. Gue atau pasukan cupu lo itu."

"Berengsek!"

Keadaan semakin kacau. Banyak dari mereka yang sudah tumbang dan tak sedikit yang mengeluarkan darah dari beberapa bagian tubuhnya. Takut? Tidak sama sekali! Mereka justru semakin terpacu ketika melihat satu per satu dari lawan mereka yang gugur. Api semangat semakin berkobar di dalam diri mereka.

Sekitar 20 menit bertarung, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara sirine dari 2 mobil polisi. Sontak, mereka pun berlari tunggang-langgang karena tak ingin tertangkap. Tetapi hal itu tak berlaku bagi para pemimpin yang berada di barisan paling depan. Mereka masih setia untuk mempertahankan harga diri. Karena dalam hal ini, harga dirilah yang menjadi taruhannya. Hingga pada akhirnya salah satu basis memilih untuk mundur. Menyisakan basis lawan yang tersenyum puas atas kemenangan mereka, sesaat sebelum akhirnya petugas kepolisian berhasil menangkap mereka.









🍒🍒🍒









Di waktu yang bersamaan namun dengan tempat yang berbeda, seorang gadis dengan seragam SMA lengkap dan tas ransel berwarna merah gelap terus berjalan kaki seorang diri di jalanan yang tak berpenghuni. Cherry, begitu orang-orang kerap menyapanya. Bibir merah mudanya terus bergerak, mengeluarkan gerutu-gerutuan kecil yang seolah-olah ikut menemani langkah kakinya. Seharusnya ia tak pulang sendirian, seharusnya ia tak berjalan kaki seperti ini. Sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak kepadanya hari ini.

Seharusnya Cherry dijemput oleh ketiga kakaknya. Tetapi hari ini, entah ke mana perginya ketiga orang itu. Bahkan setelah lebih dari 30 menit menunggu, yang ditunggu tak kunjung datang. Ingin naik taksi atau bus pun tak bisa karena seluruh uangnya sudah habis dibelanjakan. Sialnya lagi, ponselnya kehabisan daya sehingga tak bisa digunakan untuk menghubungi siapapun.

Jika tahu hal ini akan terjadi, lebih baik ia tidak membeli anak ayam berwarna-warni yang dijual di depan sekolahnya.

"Ih tapi kan kasian juga kalau gak dilepas. Entar kalau anak ayamnya pada nyari Mamanya gimana?" gumamnya, sebelum akhirnya menggaruk kepalanya dengan perasaan bingung. "Ah gak tahu ah!"

Oleh karena, satu-satunya cara agar Cherry sampai ke rumah adalah dengan berjalan kaki. Sesekali ia menendang batu kecil, dedaunan kering ataupun sampah yang ada di hadapannya. Apa saja untuk melampiaskan kekesalannya. Cherry menghela napas lalu tertunduk lesu. Dalam hati ia berharap untuk segera tiba di rumah sehingga bisa merebahkan tubuh lelahnya.

ARCHERRY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang