8. Percikan Perasaan

111 13 0
                                    

"Nay, lo tau nggak siapa cewek yang ada di sana?"

Naya yang semula sibuk dengan ponsel mengalihkan atensi ketika pertanyaan Keysha tersebut tertangkap indera pendengarannya. Perempuan itu menyipitkan mata terlebih dulu seraya memindai sosok cewek yang dimaksud Keysha tadi.

"Yang ngobrol bareng Naka, 'kan?" Naya memastikan.

Keysha mengangguk samar. Matanya masih memperhatikan interaksi yang terlihat seru di depan sana. Seolah-olah suasana ribut parkiran tidak menghalangi Naka dan cewek itu untuk mengobrol dan saling melempar tawa.

"Kalo sekadar tau, iya, sih. Namanya Ayla, kelas 11 IPA 3."

"Kok lo bisa tau dia? Temen ekskul?"

"Nggak, dia anak OSIS, makanya gue tau."

Bukan aneh jika Naya tahu cewek itu, sebab sahabat Keysha ini selalu bekerja sama dengan pengurus OSIS. Meski selama ini yang terlihat adalah Naya yang hanya mementingkan nilai akademik dan terkesan ambisius mengenai pelajaran, nyatanya dia berhasil menduduki posisi ketua ekskul Jurnalistik. Yang mana ekskul tersebut sering bekerja sama dengan ekskul-ekskul lain di sekolah.

"Eh, mereka pacaran?" Raut wajah Naya terlihat kaget kala sosok Naka dan perempuan tadi sudah berlalu, mereka berboncengan, lagi. Dan entah kenapa, perasaan tidak nyaman melihat hal tersebut melingkupi Keysha.

"Nggak tau," jawab Keysha jujur.

Naya menggigit bibir dalamnya, lantas dengan hati-hati menoleh ke arah Keysha. "Are you okay, Key?"

"As usually fine. Memangnya gue kenapa, Nay?" tanya balik Keysha, berusaha menghadirkan senyum tipis di sana.

Naya menyadarinya. Namun dia tak ingin memperpanjang, sebab jika sudah waktunya, Keysha yang akan bercerita sendiri.

"Ceweknya Naka cantik. Pake hijab lagi."

Naya refleks meringis ketika mendengar kalimat itu keluar dari bibir sahabatnya.

Gawat!

*

Teras dengan luas 4×4 m² itu tampak ramai. Meja persegi panjang yang dikelilingi kursi kayu yang ada di sana terlihat penuh. Bungkus makanan, kaleng soda, serta dua piring berisi donat yang masing-masing tinggal beberapa biji tersebutlah yang memenuhi meja. Juga ada sebuah colokan penuh yang tengah mengisi daya baterai ponsel di sana.

"Sabtu nanti futsal, kuy! Nggak ada yang bosen apa weekendnya di rumah mulu?" Raven bersuara ketika dia baru saja mencomot satu donat lagi di salah satu piring. Pembahasan mereka yang tadinya masih seputar game online segera berpindah jalur.

"Gue, sih, gas. Bosen juga mainnya ngafe mulu." Jemi menimpali.

Mendengar itu, Naka refleks menoyor kepala cowok berambut cepak itu. "Bilangnya capek, tapi besoknya lo ngafe juga ampe tuh kafe tutup."

Sontak Raven dan Lathan yang ada di sana tertawa, ikut menyetujui ucapan Naka barusan. Atmaja Jemi, cowok pemegang label sekolah-ngafe-sekolah-ngafe itu memang tidak bisa menghentikan kebiasaannya untuk berkunjung ke kafe. Bahkan Jemi pernah nongkrong di salah satu kafe mulai dari pagi sampai tempat tersebut ingin tutup.

Ketiga temannya sampai heran, mengira Jemi ingin melamar pekerjaan di sana. Cowok itu berdalih dengan kalimat, "Gue nongkrong sampe kafe mau tutup bukan nggak tau diri, ya. Tapi emang tempatnya bagus, wi-finya kenceng pula. Yaaa ... walau gue cuma pesen ice americano sama waffle es krim aja, sih."

Hello, Mars! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang