55-Epilogue

60 8 1
                                    


***

Kehidupan normal yang sering dimiliki kebanyakan orang sepertinya akan habis dengan belajar, bermain, bekerja, menikah, berkeluarga, memiliki anak, memiliki cucu, kemudian menua, dan mati dengan damai.

Namun, sebagian besar manusia tidak memiliki kesempatan hidup seperti itu. Salah satunya Blue Arcean. Terlahir sebagai putri sulung seorang Mafia, Blue harus rela kehilangan Ibunya sedari berumur lima tahun.

Setelah sempat melarikan diri dari Ayah kandungnya, Blue dipungut oleh keluarga Arcean. Awalnya, Blue mengira kehidupannya akan baik-baik saja bersama sang Ayah dan Ibu angkat baru. Namun, saat ia tahu jika Ibu angkatnya mengalami penyakit mental lantaran kehilangan anak kedua dan serta rahimnya dalam sebuah kecelakaan, Blue baru menyadari, jika ia hanyalah alat di antara mereka.

Hidupnya semakin kelam, saat ia harus mengikuti jejak sang Ayah sebagai pembunuh bayaran. Latihan keras yang ia jalani, hanya sekedar untuk bertahan hidup. Namun, perhatian dan kasih sayang Zain Arcean teramat tulus kepadanya. Hingga membuat Blue begitu terpuruk saat kehilangan sosok tersebut.

Ingatannya seolah terhenti, hanya pada saat ia bersama sang Ayah. Namun, kehadiran sosok Zero seakan mengubah kembali jalan takdirnya. Blue yang berniat keluar dari dunia hitam tersebut, harus kembali terseret masuk dan berkutik di dalamnya.

Dan saat ada setitik celah putih bertanya, "Boleh?"

Kaki Blue seakan kaku dibuatnya. Gadis itu melihat ke arah Zero yang tengah tersenyum tulus menatap kedua lensa birunya.

"Apa ... katamu?" tanya Blue tidak percaya.

"Aku ingin hidup bersamamu, Blue."

DEG!

Zero memperjelas kehendaknya, yang seakan menjadi pukulan keras bagi Blue.

"Menikah, memiliki anak, cucu, kemudian menua bersamamu," ujar Zero tanpa perasaan ragu sedikitpun.

"... Kau mau?" tawar Zero penuh harap.

"Aku...," Blue terdiam sejenak, seakan memikirkan sesuatu.

"... Aku harus mandi," lanjut Blue lekas beranjak menuju kamar mandi.

Tubuh Blue bersender lemah pada bilik pintu yang ia kunci. Matanya nanar ingin menangis. Perlahan, tubuhnya merosot ke bawah hingga menyentuh tubin lembab kamar mandi. Tangisnya pecah, antara sedih, terharu, bercampus kesenduan dan juga bimbang.

Ingin sekali ia menjawab dengan bijak, akan tetapi tersadar, jika takdir hitam yang mereka punya sedari kecil tidak akan pernah setuju dengan rencana-rencana kecil yang sesederhana itu.

Jika tidak ada korban nyawa, tidak ada darah yang menetes, dan tidak ada seorang yang harus kehilangan, sepertinya takdir mereka tidak akan puas. Seolah mengubur mereka dalam jeruji yang sama, akan tetapi memberikan harapan sebuah pelita.

"Aku ingin, Zero. Aku sangat ingin!"

***

Ting! ... Tung!

Tok! Tok! Tok!

Suara bel ketukan pintu dari luar, seakan memalingkan fokus Blue dan Zero saat menonton.

"Laundry?" tebak Zero saat Blue mengisaratkan bertanya.

Blue bergeleng, seraya menunjuk pakaian mereka yang telah diantar sedari tadi. Saat ini, keduanya tengah berada di apartemen Zero.

"Kau memesan pizza?" tanya Blue sembari bangkit dari ranjang mereka untuk membukakan pintu.

"Tidak," sahut Zero ikut penasaran.

BLACK PAPERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang