50-Saveur de Fleurs

32 3 1
                                    

***

"Selamat malam, Tuan Muda Zero Arcean!" sapa suara familiar yang tengah duduk bersantai di sofa ruang tamu.

Suara bariton pria berjanggut tipis itu menggema memenuhi seluruh penjuru mansion, yang langsung membuat Zero si Pemilik nama menoleh takjub.

"Kakek?" Zero berlari turun sebelum sempat habis ia naiki anak-anak tangga tersebut.

"Ahahah...! Kau terkejut dengan kehadiran si Pemilik rumah, huh?" canda Zakaria membuka tangan untuk memeluk cucunya tersebut.

"Hum, cukup mengejutkan." balas Zero memeluk tubuh Zakaria.

"Oh, di mana Herly?" tanya Zero mencari keberadaan si Kakak sepupu.

"Tepat berada di belakangmu," ujar Herly mengangkat tangan, sembari membawakan tas kotak milik kakek mereka.

"Terima kasih, Nak." ucap Zakaria menghargai kebaikan cucunya.

"Ayo duduk," lanjut Zakaria mempersilahkan.

"Astaga... Anda benar-benar seperti pemilik rumah ini, Tuan besar!" puji Zero bergurau.

"Ahahah...!" tawa ketiganya melepas kerinduan.

"Aku memang pemilik rumah ini, kau ingat?" balas Zakaria yang sepertinya gemar sekali tertawa.

"Aku mendukungmu, Kek!" timpal Herly menyemangati.

"Aku tahu, aku tahu!" Zero menahan kata-katanya, mencoba untuk tidak tertawa sembari berbicara.

"Aku memang hanya menumpang di tempat ini." balas Zero menanggapi.

"Lihat, dia mengakuinya, Kek." kekah Herly yang dibalas tawa dari ketiganya.

Setelah itu, mereka terus bercakap ria dengan serunya. Menikmati beberapa gelas Vodka, dengan pembahasan yang tidak terlihat seperti kakek dan kedua cucunya.

"Oh, aku ingin membawamu ke suatu tempat, Zero," ujar Zakaria yang cukup memberi kesan tenang bagi ruangan.

"Ke mana, Kek?" tanya Zero meneguk habis minuman di gelasnya yang entah sudah keberapa kali.

"Ke suatu tempat yang mungkin akan membuatmu marah." unggah Zakaria menatap mata cucunya yang terdiam seketika.

Melihat itu, Harly Allen yang juga adalah cucu sambung Zakaria, akan tetapi berbeda marga, hanya dapat tersenyum tipis, melirik mimik wajah Zero yang tiba-tiba saja membeku di sana. Sepertinya, Zero sedikit mengetahui sesuatu yang lebih buruk dari itu.

***

Bruk!

Blue membuang tubuh lelahnya yang masih terkesan sedikit lembab di atas kasur empuk. Menatap lurus langit-langit kamar yang begitu teramat familiar, membuatnya mengantuk dan merasa ingin segera tertidur. Akan tetapi, sesuatu di bawah sana terasa nyeri, tatkala ia menggerakkan tubuhnya dengan sembrono.

"Ah...," lirih Blue berdesis kesakitan.

Sepertinya, Zero terlalu brutal menggarap tubuh gadis kecilnya itu. Blue menarik selimutnya, menyembunyikan diri di dalam balutan hangat kain berbahan tebal itu agar tidak ditemukan oleh cahaya. Memejam dengan penuh harap, semoga saja segalanya berjalan seperti apa yang ia harapkan. Namun, takdir sepertinya terlalu suka bermain-main.

Banyangan itu, ... bayangan bagaimana Zero memperlakukan dirinya kemarin, sungguh membuat Blue sesak hingga terasa lebih menyakitkan lagi. Gadis malang itu meringkuk memeluk lutut, meluapkan segala kekesalan dan perasaan sakit di dalam hatinya.

...

"Kau ingin membawaku ke mana?" tanya Blue tatkala Zero mengarahkan laju mobilnya ke jalan asing yang tidak Blue dapatkan dalam memori.

BLACK PAPERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang