Sebuah bangunan yang begitu luas dengan halaman yang di tumbuhi beberapa pohon dan tanaman hias tertata begitu rapi begitu sedap di pandang.Pemuda mungil yang saat ini tengah duduk di atas kursi rodanya dengan di dorong sang paman untuk menyusuri halaman luas itu sungguh pemandangan pagi yang begitu menyejukkan.
Jimin menatap sekitar dengan senyum tipis di bibirnya, di temani Seokjin yang saat ini berjalan ke arahnya dengan membawa dua gelas minuman hangat di kedua tangannya.
Sreet
"Minumlah." Ucap Seokjin seraya memberikan segelas susu pada Jimin.
"Terima kasih paman." Seokjin pun mengangguk seraya menyesap secangkir kopi yang ada di tangannya.
Keduanya menikmati udara pagi itu dengan minuman hangat di tangan keduanya, sudah dua bulan lamanya mereka berada di negeri itu. London bukan lah tempat yang buruk, suasana baru membuat Jimin yang tadinya suram kini semakin cerah. Cek up pun di lakukan rutin tanpa adanya paksaan untuk menjalaninya. Jimin sangat penurut dan mudah di atur, si mungil pun patuh pada anjuran dokter yang menangani nya. Terasa begitu mudah menjalani semuanya.
"Jiminie."
"Hm?"
"Ayahmu akan menikah Minggu depan. Kau tak ingin mengabari keadaanmu sekarang?"
Jimin yang mendengarnya, seketika menghentikan sesapan nya pada minumannya. Meletakkannya di atas paha dengan netra yang kini menatap pada cairan putih pekat itu dengan senyum tipisnya.
"Tidak perlu paman, biarkan ayah menikmati kebahagiaan nya. Aku tak ingin merusaknya."
Seokjin menghela nafas dan meletakkan cangkirnya pada pot besar di sampingnya, kemudian mendekati Jimin dan berlutut di depan si mungil.
"Jimin sayang, setidaknya ayahmu tahu kondisimu saat ini. Dia pasti senang mendengar jika kau baik-baik saja. Bahkan operasi transplantasi mu akan di lakukan satu bulan lagi. Paman-
"Aniyo, biarkan ayah menikmati kebahagiaan nya."
Seokjin kembali menghela nafas dan kini dengan anggukan paksa. Ia tak ingin memaksa keponakan manisnya ini untuk melakukan di luar keinginannya. Tak ingin Jimin tertekan dengan hal itu.
"Baiklah. Terserah kau saja, hari ini paman Jeon akan menghubungi mu."
"Nde paman."
Ya benar, hari ini setelah satu minggu yang lalu adalah jadwal rutin kakek dan neneknya menghubungi dengan bertanya akan kabar dirinya. Yah.. satu Minggu sekali mereka rutin melakukannya. Bercerita hal yang sepele namun, begitu terasa berkesan sebab tak adanya mereka satu sama lain di tempat yang sama memberikan rasa rindu bagi mereka yang cukup menyesakkan.
"Kook, kau baik-baik saja?"
Sebuah suara seorang wanita yang terdengar khawatir dengan usapan di bahunya dapat menyadarkannya dari lamunan.
Jeon Jungkook menoleh ke samping dan tersenyum mendapati sosok calon istrinya yang terlihat khawatir. Meraih jemari lentik itu dan menggenggam nya.
"Aku baik-baik saja."
"Kau yakin? Apa kau merindukannya?"
"Sedikit." Tatapan Jungkook berubah menyendu dan si wanita, Rose calon istrinya tentu tahu apa yang saat ini pria itu rasakan.
"Jungkook, dia putramu kau pantas merindukannya. Tak perlu kau menyembunyikan perasaanmu itu. Aku sangat mengerti bagaimana perasaan nya tapi, lebih baik hubungi dia. Pastikan bahwa Jimin baik-baik saja."
Rose mencoba meyakinkan pria itu. Entah mengapa Jungkook lebih memilih memendamnya. Atau mungkin pria itu takut? Namun, itu adalah suatu resiko yang harus ia ambil sebab apa yang di lakukan nya dulu. Meski pada akhirnya rasa bersalah dan penyesalan menggerogoti hatinya setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[D.I.S] Daddy, I'm Sorry ✔
Hayran KurguAbout, Family violence kisah seorang pemuda berusia 16 tahun yang setiap harinya mendapat kekerasan dan tekanan dari sang ayah. bahkan di sekolah ia menjadi korban bullying hingga pada akhirnya memilih untuk melakukan Self harm. Park Jimin (16) Jeon...