Di suatu sore, ketika Naela baru saja selesai menghabiskan satu mangkuk mie soto yang dia masak sendiri, samar-samar terdengar notifikasi handphone yang dia letakkan tepat di samping televisi yang saat ini menampilkan kartun upin-ipin. Iya, dia makan mie soto sambil nonton upin-ipin. Hal itu sudah menjadi kebiasaan baginya. Dia tak bisa makan dengan lahap jika tak dibarengi adegan-adegan kocak dari kartun asal negara tetangga tersebut.
Kemudian Naela melirik ponsel itu. Layarnya memang menyala, tapi ia masih geming sebab sudah bisa menebak--siapa lagi yang menghubunginya di sore hari Jumat seperti ini, jika bukan sahabat konyolnya alias Sisil.
Dua menit memilih untuk tak menggubrisnya, membuat si pengirim pesan ngelunjak bukan main. Notifikasi terus-menerus berbunyi sampai Bu Anin--ibu tersayang Naela--bersuara dari kamarnya. "Mbok ya kalau lagi nonton TV itu HP nya disilen toh, Nduk!" katanya membuat Naela mendengus.
"Di silent, Buk. Kalau nggak bisa ngomong bahasa inggris ya bahasa lokal aja nggak papa. Ayu masih orang Surabaya kok." Dan berakhir Naela mengambil handphone miliknya kemudian bergegas menuju lantai dua-dimana kamarnya berada.
Gadis itu menutup pintu kamar seraya membuka sejumlah pesan yang dikirim oleh satu orang. Kerutan halus mulai tampak di keningnya saat dia membaca satu per satu pesan itu. Sebetulnya dari sepuluh chat yang dikirim Sisil, hanya satu yang berhasil membuat Naela merasa pening. Chat pertama yang berupa file pdf berisi deretan nama calon formatur Badan Eksekutif Mahasiswa.
"Edan!"
"Kurang ajar!"
"Opo-opoan iki?"
Naela menggerutu sendiri begitu menemukan namanya tertera jelas di bagian kandidat presiden mahasiswa bersama tiga orang lainnya. Bagaimana tidak? Selama ini, dia merasa bahwa dirinya bukan mahasiswa cerdas ataupun aktif yang cocok untuk dicalonkan sebagai pemimpin para mahasiswa di kampus. Hanya saja, secara kebetulan, entah mendapat wangsit dari mana, kala itu saat BEM sebelumnya mengadakan kegiatan evaluasi program kampus, Naela tak sengaja menyampaikan sepatah argumen di depan seluruh mahasiswa. Tapi dia pikir kalau itu benar-benar suatu bentuk ketidaksengajaan, mengingat malam sebelumnya dia membaca artikel yang juga membahas hal yang sama.
Selain itu, Naela adalah mahasiswa di kelas karyawan. Menurutnya, sangat tidak efektif jika seorang pemimpin seperti presiden mahasiswa diambil dari mahasiswa kelas karyawan. Mereka kuliah saja hanya dua sampai tiga kali dalam seminggu, yang sudah pasti memiliki kesibukan lain di luar kampus. Ini malah dicalonkan menjadi presma yang mau tidak mau harus sering datang ke kampus. Naela semakin jengah saat benaknya menangkap satu hal yang paling penting dari informasi ini. Tidak ada yang menghubungi dia untuk sekadar meminta persetujuan atau melakukan koordinasi dengannya. Bukankah tidak sopan jika tiba-tiba mencantumkan nama orang lain tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu?
Daripada membanting ponsel yang baru dibelikan Ayah sekian minggu lalu, Naela memutuskan untuk meluapkan sedikit rasa kesalnya pada seseorang yang menyampaikan informasi ini. Dia menekan logo telepon di samping nama Sisil, kemudian menarik napas panjang agar tak kebablas mengeluarkan kata kasar saat dirinya berhasil menghubungi sahabatnya itu. Tak menunggu lama, Sisil langsung menjawab panggilan Naela.
"Ha-"
"WOYY!"
Refleks Sisil menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia ingin membalas, namun sadar sahabatnya pasti sedang shock karena informasi mengerikan yang dia berikan. Karena itu, Sisil memilih menghela napas lalu menempelkan lagi benda pipih itu ke telinga.
"Naela, are you okay sista?"
"Oke oke ndasmu! Kamu dapat dari siapa informasi itu?"
"Dari anak DPM lah. Kan mereka yang bikin itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN PRESMA
FanfictionWaktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai presiden mahasiswa adalah suatu hal yang tepat. Sebab ia sangat yakin jika teman-teman yang memilihnya akan bersama-sama membantunya memperbaiki pondasi serta memperkokoh pilar orga...