8. Perihal Pelantikan

130 10 0
                                    

Sejak malam pemilihan, malam-malam berikutnya tak pernah dilewati tanpa sebuah tangisan. Entah tangis lelah, tangis bingung, bahkan tangis yang tak beralasan sekalipun gadis itu keluarkan. Naela hanya tak sanggup menahan sesak yang membuncah di dada. Hanya dengan menangis, ia merasa cukup lega.

Begitu pun hari ini. Sejak tadi siang gadis itu memilih mengurung diri di kamar. Ia bahkan menyimpan ponsel di antara tumpukan baju yang ada di dalam lemari. Naela biarkan dirinya mencerna keadaan sendirian. Walau keputusannya itu sempat membuat seisi rumah bertanya-tanya--sebab tiba-tiba saja di pintu kamarnya tertempel sebuah peringatan bahwa tidak boleh seorang pun mengganggu atau mengajaknya bicara hari ini.

Seperti ini kira-kira bentuk catatannya :

Diberitahukan kepada seluruh penghuni rumah nomor 04 warna cream yang terletak di gang melati, bahwasannya untuk hari ini, saya, Naela Ayu Azalia, tidak ingin di ganggu sama sekali karena suatu alasan yang tidak bisa saya jelaskan. Maka dari itu, apabila peringatan di atas dilanggar, pelaku kriminal hendaknya mengganti biaya kerugian sebesar 50k. Untuk makan tidak perlu disuruh, karena saya akan turun sendiri jikalau perut ini bunyi krucuk-krucuk.
Terimakasih.
Tertanda,
Pacar ke-4 Iqbaal Ramadhan.

Mungkin respon Ibu sebatas keheranan kemudian geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. Tapi Zidan? Tentu bocah itu tak akan puas jika hanya membaca dan maklum pada permintaan kakaknya. Sepuluh menit setelah mengetahui pengumuman tak penting itu, ia pergi ke tempat percetakan foto Mas Amin di ujung gang. Ia kantongi uang 10 ribu sambil menampilkan senyum bahagia sepanjang jalan. Secuil ide jahil terbesit dalam benaknya.

"Rasakno! Kakean gaya se nggawe pengumuman barang.. lihatlah wajah cantikmu akan terpampang nyata di samping pengumuman itu wahai kakak lampirkuuu!" gumamnya lantas masuk ke dalam kios mini Mas Amin.

"Mas Amiinnn ..." Bocah itu clingak-clinguk sebab tak ada siapapun di sana. Hanya beberapa potret orang-orang yang tidak ia kenal terbalut figura dengan berbagai model dan ukuran.

"Mas Amiiinn ..." panggilnya lagi. "Kalau nggak muncul, aku balik nih! Mas Amin pasti rugi besar kalau aku pulang."

Zidan cekikikan sendiri. Selain karena ucapannya yang terdengar aneh, dia juga terus-terusan ingat rencana yang akan dia realisasikan.

"Heh bocah!" Kontan Zidan tersentak. Sebelah kakinya sampai terangkat saking kagetnya. Bagaimana tidak? Mas Amin mendadak muncul di belakangnya. Pemilik tempat percetakan itu justru masuk dari pintu depan alih-alih dari pintu belakang yang langsung tersambung dengan rumahnya. Beruntung Zidan tidak kebablas mengumpat.

"Koyok wong edan ngguya ngguyu dewe. Tak pikir wakmu kesurupan buto ungu."

"Kok ungu?"

"Soale aku seneng janda."

"Mbak Yuyuuun, Mbak ... Mas Amin jarene kate rabi meneh ambek jandaaa!!"

Mendengar itu, Mas Amin nyaris menyamai cacing kepanasan. Lelaki itu gelagapan sendiri lalu secepat kilat membungkam mulut Zidan. Meski Mbak Yuyun--istri Mas Amin--dulunya adalah seorang janda teles, tetap saja Mas Amin pantang membicarakan secara gamblang mengenai dunia per-janda-an. Ia sangat menghargai dan menghormati istrinya. Kalau sayang, tidak perlu ditanya! Mas Amin rela memindahkan rumahnya ke pinggir jalan jika memang Mbak Yuyun menginginkannya.

Bucin kurang 1/2 ons kalau kata Zidan.

"Pesing tangane, ih!" Bocah itu mencebik setelah berhasil menjauhkan tangan Mas Amin dari wajahnya.

Kontan saja gelak tawa Mas Amin menggelegar memenuhi ruangan. "Ancen aku sektas teko nguyuh," terangnya tak berdosa.

"Mas Amin jancuk, rek!! Pasti nguyuhe ngadek iki. Gak cebok-an yoohh?"

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang