Dulu, saat masih menyandang status mahasiswa baru, Naela memang tipikal maba yang gampang bersosialisasi dengan teman seangkatan bahkan kating sekalipun, meski rata-rata kenalannya adalah perempuan. Tak jarang ia mengikuti seminar yang diadakan oleh kampus dan hal itu membuatnya makin dikenal banyak orang. Mereka beranggapan bahwa Naela adalah perempuan yang memiliki kepribadian social butterfly, sehingga sangat mudah mengakrabkan diri dan berteman dengan siapapun. Namun, tidak banyak yang tahu jika gadis kelahiran bulan Oktober itu diam-diam menaruh rasa tertarik pada seorang lelaki yang tidak sengaja ia temui di perpustakaan kampus.
Kala itu, saat Naela memilih menunggu Sisil di perpustakaan kampus sebab mereka berencana akan menghabiskan waktu berdua, dia yang memang tidak berniat membaca dan hanya memilah buku lalu membukanya sebentar dan berakhir mengembalikannya ke tempat semula, tiba-tiba gerakan tangannya terhenti tatkala menyadari ada tangan lain turut memegang buku kelima yang hendak dirinya ambil. Refleks Naela menarik tangan sebab yang terlintas di benaknya adalah hantu tangan kutu buku, tanpa bagian tubuh yang lain. Padahal terdapat beberapa mahasiswa yang mengisi ruang perpustakaan dan kebetulan saat itu masih jam 2 siang, tidak mungkin ada hantu penasaran tiba-tiba menampakkan diri--terlebih hanya bagian tangan saja. Kecuali jika kisah hidup Naela memang disetting horor-horor mendebarkan oleh Tuhan.
Dugaan hantu tangan kutu buku tentu akan terjawab jika Naela memberanikan diri mendongakkan kepala. Dan benar saja, selama beberapa saat jantungnya seolah mendadak berhenti berdetak. Bukan karena hantu yang ia temukan, tapi sebuah senyum manis dilengkapi lesung pipi indah yang mampu membuatnya terkesima dalam hitungan detik. Mungkin adegan seperti ini sudah sering kita jumpai di layar televisi, tapi bagi Naela--menjadi bagian dari adegan itu sendiri bukan hal biasa yang dengan mudahnya bisa dikesampingkan walaupun ia tidak dapat berlama-lama mengagumi senyum mempesona itu, sebab pemiliknya mendadak melenggang pergi setelah berhasil melontarkan kalimat, "kamu prodi hukum juga? Tapi ini buku untuk semester akhir, dan kayaknya kamu bukan teman seangkatanku. Jadi aku pinjem buku ini ya?!"
Seolah tersihir oleh penyihir putih, Naela nyaris tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun untuk menanggapi ucapan lelaki itu. Rasa-rasanya seluruh ungkapan kekaguman yang dia rasakan mendadak berhenti di tenggorokan. Tak cukup sampai disitu, wajah melongonya konsisten bertahan hingga punggung lelaki itu menghilang di balik rak buku. Dan saat itu juga Naela merutuki dirinya sendiri-mengapa dia baru sadar ada manusia setampan itu di kampus mungil seperti ini? Dia juga membenci tingkah bodohnya yang justru terlihat jelas mengagumi lelaki yang baru pertama ia temui itu.
Namun, siapa sangka keberuntungan ternyata sedang berpihak pada gadis itu, ya walau tak sepenuhnya. Ketika Naela akhirnya memutuskan keluar perpustakaan untuk menghampiri Sisil di kelas, lagi-lagi jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik sebab melihat Sisil sedang mengobrol dengan seorang lelaki yang ia jumpai di perpustakaan tadi.
Sebenarnya di lubuk hati yang paling dalam, Naela sudah berteriak kegirangan. Ia bahkan ingin melancarkan aksi untuk sekadar berkenalan atau basa-basi bertanya tentang jurusan dan hal lain yang akan menambah durasi obrolan mereka. Tetapi otaknya justru menolak keras semua itu. Membuat dirinya tercekat di tempat seraya menatap kedua insan yang berada tak terlalu jauh darinya.
Keberadaan Naela yang diam membeku seperti itu tentu menarik perhatian beberapa mahasiswa yang melewatinya. Mahasiswa-mahasiswa itu memandang Naela dengan raut wajah aneh sembari bergumam sendiri. Pada akhirnya hal tersebut mampu menarik perhatian Sisil, hingga ia mengalihkan pandangan tepat saat Naela hendak berbalik untuk melarikan diri.
"WOY NAELA!!" teriak Sisil. Walau jarak mereka tak terlalu jauh, pantang bagi Sisil memanggil Naela dengan nada lembut meski kini di depannya ada seorang lelaki tampan yang mengerutkan keningnya bingung. "Sini! Ngapain disitu?" Sisil mengayunkan sebelah tangannya sambil tersenyum sumringah. Dalam kondisi seperti ini, ingin sekali Naela menjitak kepala sahabatnya itu. Kalau saja Naela tidak mempertimbangkan hubungan persahabatannya dengan Sisil, maka ia akan memilih untuk tidak mengindahkan panggilan yang ditujukan padanya, dan pura-pura bertingkah seolah tak saling mengenal. Tapi demi kebaikan hubungan, juga agar terhindar dari overthinking yang melanda di malam hari kalau-kalau salah mengambil langkah--Naela mulai berjalan mendekat ke arah Sisil sambil tersenyum masam.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN PRESMA
FanfictionWaktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai presiden mahasiswa adalah suatu hal yang tepat. Sebab ia sangat yakin jika teman-teman yang memilihnya akan bersama-sama membantunya memperbaiki pondasi serta memperkokoh pilar orga...