Suasana hati Naela kian memburuk karena terus-menerus menyalahkan diri atas ketidakhadirannya pada diskusi minggu lalu. Buntut dari peristiwa itu masih dia rasakan hingga saat ini. Naela harus menanggung perihnya diabaikan oleh pemuda bernama Naeka yang ia tahu sebagai koordinator BEM PTS Surabaya.
Sudah belasan pesan Naela kirimkan sebagai bentuk permintaan maaf. Dia juga menyertakan alasannya meski tidak mendetail. Tak mungkin Naela memberitahu jika ia berhalangan hadir sebab insiden pertengkaran dengan adiknya sendiri karena berebut motor.
Waktu itu, Naela sudah selesai bersiap-siap dan bergegas ke tempat pertemuan. Nahasnya, saat ia sampai di garasi rumah, adiknya lebih dulu ada disana. Bocah itu memanaskan motor dalam waktu lama seakan tak menyadari keberadaan kakaknya.
Naela menilik penampilan Zidan yang tampak rapi lengkap dengan helm kesayangannya. Kening gadis itu berkerut. Perlahan dia berjalan mendekat. Hingga akhirnya Naela menepuk lengan adiknya.
"Lapo wakmu manasi sepeda?" Zidan tersentak. Bocah itu mengendurkan tangannya yang berada di grip motor.
"Kamu nanya?" sahutnya dengan raut menyebalkan.
Hal itu menjadi pemicu kemarahan Naela. Dia spontan menoyor kepala Zidan yang terbalut helm. "AKU IKU TAKON SERIUS!" pekiknya mengalahkan deru motor yang masih menyala.
Tanpa diduga, Naela mengambil alih kendaraan roda dua itu. Dia mendorong Zidan hingga pemuda itu nyaris terjerembab jika saja tidak mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
"MBAK AYU IKI OPO O SEH?" ujar Zidan tak kalah memekik.
Perseteruan kakak beradik itu terus berlanjut hingga membuat orang-orang yang lewat depan rumah mereka penasaran dan menghentikan langkah. Pun dengan Ibu yang harus meninggalkan cuciannya demi memeriksa sendiri--apa yang terjadi dengan kedua anaknya sampai-sampai saling melontarkan teriakan seperti itu?
Tak tanggung-tanggung, Ibu datang membawa dua sapu dengan warna berbeda. Kehadirannya membuat Naela dan Zidan tercengang bukan main, apalagi saat Ibu tiba-tiba memberikan sapu itu secara paksa pada mereka.
"Age terusno!" Ibu berkacak pinggang. Mimik wajahnya benar-benar tampak serius. "Wes podo gede kok ndak isin nang tonggo," timpalnya.
Tidak ada yang berani menyahut. Suara motor yang sudah tak terdengar lagi justru membuat ucapan Ibu kian menggelegar di ruang garasi itu. Pelan-pelan Zidan berjalan maju menghampiri Naela. Bocah itu menyejajarkan diri dengan kakaknya persis seperti anak SD saat ketahuan berbuat salah.
Melihat itu, hati Ibu sedikit tergelitik. Namun ia berusaha menahan senyumnya agar kedua anaknya berhenti membuat gaduh seperti tadi.
"Ono opo seh? Kok yo bendino ono ae sing dipermasalahno," tanya Ibu.
Mulanya, mereka masih bungkam. Zidan malah menyenggol lengan Naela sampai gadis itu menghunusnya dengan tatapan tajam.
"Ayo jawab! Sektas koyok e podo semangat kabeh saling adu mulut!" Ibu bertanya sekali lagi.
"Iku loh Buk ..." Zidan menggaruk-garuk kepalanya. "Aku kan manasi sepeda motor. Moro-moro Mbak Ayu teko terus langsung uring-uringan."
"HEH!" Naela tak terima. "Aku takon bener-bener, Jidan malah jawab--kamu nanya?! Kan akhire aku kesel, Buk!" kilahnya.
"Mangkane wes jelas-jelas aku manasi sepeda, terus pakaianku rapi, berarti kan tandane aku te metu," balas Zidan lagi.
"Tapi aku te metu pisan! Urgent malah. Awakmu paling jalan-jalan ndak jelas bareng koncomu, kan?"
"Si paling urgent."
Lagi-lagi emosi Naela terpancing. Kalau saja tidak ada Ibu disana, bisa dipastikan akan ada cekcok babak kedua. Alhasil, demi meredam amarah, Naela berulang kali menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar meski sama sekali tak mempan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN PRESMA
FanfictionWaktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai presiden mahasiswa adalah suatu hal yang tepat. Sebab ia sangat yakin jika teman-teman yang memilihnya akan bersama-sama membantunya memperbaiki pondasi serta memperkokoh pilar orga...