17. Lampu Merah

128 12 1
                                    

Di salah satu sisi jalan Kota Surabaya, Naela berdiri di depan gerbang berwarna hitam pekat. Berulang kali gadis itu menekan bel, namun pemiliknya masih belum menampakkan diri juga.

Siang ini langit begitu cerah. Panas matahari terasa menusuk hingga ke bagian kulit terdalam. Membuat Naela meringis dan berusaha menyembunyikan tangannya di dalam kantong jaket abu-abu yang ia kenakan.

Sekali lagi Naela menekan tombol kecil di hadapannya. Gadis itu sudah memasang ancang-ancang akan melenggang pergi apabila rumah yang ia datangi tak kunjung menampakkan penghuninya. Sejenak, Naela melirik motor yang bertengger disampingnya. Melihat sadel yang terpapar sinar matahari secara langsung, membuat gadis itu bergidik ngeri membayangkan sepanas apa bokongnya saat duduk disana.

Meninggalkan pemandangan itu, Naela justru melakukan hal konyol dengan mendongakkan wajah. Netra gadis itu praktis memburam setelah berhasil menangkap beberapa burung yang terbang menghias sang jumantara. Kabar buruknya, di saat yang sama--tiba-tiba gerbang terbuka.

"Kak Nae!" Suara nyaring bocah memasuki indra pendengarannya.

Alih-alih menjawab, Naela berupaya menstabilkan penglihatannya lebih dulu. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala sembari memejam kuat. Ketika membuka mata, ia jumpai anak kecil tengah memandangnya sumringah.

"Halo Nala," sapa Naela. "Kak Nae dari tadi berdiri di sini tapi gerbangnya nggak dibuka-buka."

"Iya, soalnya Sus lagi ngurusin rambut Naya. Makanya aku yang inisiatif mau bukain gerbangnya." Bocah lelaki itu tampak malu-malu mengatakannya. Mengundang senyum merekah Naela.

"Duh, lucunyaaa." Tangan Naela terulur--mengusap lembut surai anak itu. "Tapi, lain kali, Nala nggak boleh sembarangan buka gerbang sendirian yaa. Gimana kalau nanti yang dateng justru orang jahat?"

Bocah itu hanya mengangguk dan menyuguhkan raut menggemaskan. "Sekarang Nala minggir dulu. Soalnya Kak Nae mau masukin motor."

Buru-buru Naela menggeser gerbang agar terbuka lebih lebar. Ia menuntun pelan motornya sembari menatap Nala dengan senyum yang tidak pernah luntur dari wajahnya. Setelah menutup gerbang kembali, Naela sudah disambut oleh seorang pengasuh yang berdiri di ambang pintu. Gadis itu meraih tangan kecil Nala dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Senyum Naela kian mengembang kala ia dapati seorang gadis kecil mengintipnya di balik punggung perempuan dewasa yang mereka panggil Sus itu.

"Hei, ayo sapa dulu Kak Nae-nya. Tadi siapa yang seneng guru les nya mau dateng?" ujar pengasuh itu sambil tersenyum ramah pada Naela.

Berbeda dengan Nala, Naya memang lebih pemalu. Keduanya merupakan saudara kembar yang kini sedang menempuh pendidikan di salah satu sekolah dasar favorit yang ada di Surabaya. Jalan takdir Naela bertemu mereka cukup lucu jika diingat.

Sekitar enam bulan lalu, saat Naela menghabiskan akhir pekan sendirian di sebuah pusat perbelanjaan, dirinya tak sengaja menemukan Nala sedang menangis sesenggukan di tengah kerumunan. Tanpa pikir panjang, gadis itu menghampirinya. Dugaan Naela jika bocah itu terpisah dari keluarganya terjawab ketika Nala semakin mengencangkan suara tangisnya setelah gadis itu melontarkan pertanyaan. Beruntung bocah itu mudah dibujuk dengan iming-iming diajak main mandi bola, sehingga Naela mudah mengeluarkannya dari kerumunan untuk kemudian ia bawa mencari keluarganya.

Setengah jam lebih mereka berkeliling, hingga akhirnya terdengar panggilan lantang seorang perempuan dari arah belakang. Langkah keduanya praktis terhenti. Betapa lega perasaan Naela ketika bocah yang masih menggenggam erat tangannya berteriak memanggil Mama pada seseorang yang berjalan cepat mendekat pada mereka.

Niat awal hanya ingin berkelana menikmati waktu kosong sepulang kuliah, justru berakhir dipertemukan dengan keluarga baru yang menjalin hubungan baik dengannya hingga sekarang. Masih terkenang jelas dalam benak gadis itu--saat dirinya memberitahu bahwa ia seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar, mama si kembar langsung menawarinya untuk menjadi guru les kedua anaknya. Naela yang kala itu membutuhkan biaya tambahan, tentu tak akan melewatkan kesempatan yang ia terima.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang