28. Sidang Pleno

169 9 11
                                    

Usai menempuh perjalanan yang memakan waktu nyaris 10 jam lamanya, jalanan Kota Bandung terbentang di depan mata. Naela masih mengumpulkan kesadarannya sebab ia baru terjaga sekian menit lalu akibat tak mampu menahan kantuk sejak meninggalkan rest area terakhir yang mereka singgahi. Dia merasa bersalah karena membiarkan sang rekan mengemudi dalam sepi, padahal semenjak mobil hitam yang membawa mereka meninggalkan Kota Surabaya, gadis itu berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi teman rumpi sepanjang jalan demi mengikis kejenuhan Naeka saat menyetir. Tapi apa daya; nasi putih anget, sate maranggi, pepes teri, tempe goreng dan oseng kangkung seolah berbondong-bondong mengunci kelopak matanya.

Ketika Naela ingin meregangkan otot-otot lengannya, dia baru menyadari sesuatu. Blazer Naeka menyelimuti tubuh bagian atasnya. Gadis itu praktis menoleh ke kanan. "Maaf, kamu tadi kelihatan kedinginan. Karena aku nggak bisa nyetir tanpa AC, akhirnya aku inisiatif ngasih blazer itu. Dan setelah itu aku perhatiin kamu lebih tenang dan nyaman tidurnya," kata Naeka seakan memahami maksud si gadis memandangnya.

Kalau boleh jujur, telinga Naela masih butuh adaptasi dengan sapaan baru yang mereka sepakati hari ini. Pun dengan lisannya. Bukan hal mudah mengubah panggilan yang biasa ia ucapkan selama berbulan-bulan. Terbukti beberapa kali dia tanpa sadar mengikuti kebiasaan lama, lalu tergopoh-gopoh sendiri mengoreksinya.

Mengesampingkan itu, Naela akhirnya melipat asal blazer Naeka kemudian menyampirkannya di lengan kiri. "Ini kita masih lama, Pres?" tanyanya.

"Kalau nggak macet seharusnya 15 menit lagi kita sampai."

Gadis itu mengangguk-angguk. Detik berikutnya kaca mobil sampingnya terbuka. Naeka pelakunya. Semilir angin seketika saja membelai wajah Naela. Membuatnya memejam sebentar sembari menarik napas dalam-dalam. Ketika laju mobil melambat, ia menjenguk pinggiran jalan yang mereka lalui. Kedua sudut bibirnya tertarik begitu Naeka memutar lagu bernuansa sendu.

Suasana begitu syahdu mendorong Naela untuk melongok memeriksa sang jumantara. Senyumnya kian mengembang kala menyaksikan semburat awan putih berhambur di beberapa sisi langit. Di Surabaya sana, sandyakala pasti sudah menebar keindahannya. Tapi pikiran itu justru mengundang rindu yang berhasil mengusik hati.

Tiba-tiba dia merindukan Hisyam.

Rindu itu kian memeluk erat ketika mobil berhenti di sebuah persimpangan. Naela melihat sepasang insan yang mengendarai vespa sprint berwarna grey materia dan seketika saja mereka meraup seluruh perhatiannya. Entah mengapa cara keduanya bercengkerama tampak seperti dirinya dan Hisyam. Apalagi bagian si perempuan yang menggetok helm si pria sambil bersungut-sungut, persis seperti yang sering dia lakukan pada Hisyam.

"Kita makan dulu?" Belum genap ia merajut ingatan, celetukan Naeka membuyarkan semuanya, bersamaan dengan mobil yang kembali berjalan. Dua orang tadi tak lagi berada di jangkauan mata.

"Yang bener aja, Pres?!" Naela memeriksa jam tangannya, "kayaknya baru se-jam lalu kita makan, masa makan lagi?

Naeka terkekeh. "Siapa tahu kamu laper."

"Jangan-jangan kamu yang laper?" Mata Naela menyipit.

Kini Pemuda itu hanya tersenyum. Masih fokus menyetir, satu tangan Naeka menjelajah sling bag miliknya lalu mengeluarkan ponsel dari sana. Dia mengotak-atik layarnya sebentar, lalu menyodorkan benda itu pada Naela.

"Tolong japrikan Pres Gilang. Bilang, tunggu depan gerbang universitas sekarang."

"Berarti udah dekat ya kita?"

"Iya."

Dan benar, sekian menit setelah pesannya berbalas, Naela melihat Gilang bersama seorang perempuan berdiri di depan gerbang kampus. Presma Nawasena itu melambai ke arah mereka. Lalu ketika Naeka menghentikan mobil, keduanya turut bergabung ke dalamnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang