Ada yang bilang, sebuah harapan yang terajut akan selalu diikuti oleh rasa takut. Beberapa orang menyetujui hal itu--bahkan sepakat bahwa keduanya memang hadir untuk membenang satu sama lain. Tanpa rasa takut, harapan akan berjalan tak terkendali. Akan menggiring kita pada ketidakseimbangan langkah dalam menggapai intensi. Akan membuat kita enggan memperhitungkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Begitupun sebaliknya. Jika hanya memiliki rasa takut, kita seperti berhenti di tempat, atau berada dalam ruang hampa tanpa rasa. Kadang juga seperti terjebak dalam perangkap yang kita buat sendiri. Saat seseorang membiarkan rasa takut mendominasi, maka secara tidak langsung ia menciptakan batasan untuk ruang geraknya sendiri.
Dalam beberapa situasi, manusia cenderung ingin mempertahankan harapan saja. Mereka sengaja mengenyahkan rasa takut sejauh mungkin, agar tidak merusak motivasi yang susah payah mereka bangun segenap hati. Sayangnya, tidak segampang itu melakukannya. Mau sekuat apapun seseorang berupaya menyingkirkan rasa takut itu, ketika dirinya dihadapkan pada keadaan yang melenceng jauh dari rencana, keberaniannya menciut. Pun dengan harapan yang tiba-tiba melenggang pergi entah kemana.
Kabar buruknya, hal itu terjadi pada Naela. Harapan yang ia bawa, perlahan-lahan berkurang sejak memarkirkan motor tadi. Kalau semalam dia berharap opini yang ia sampaikan dua hari lalu mampu mengantarkannya pada kemudahan, sekarang justru bertolak belakang. Dia takut akan semakin terperosok ke dalam kerumitan karenanya.
Ketakutan itu kian terasa mendekap saat dirinya baru memasuki gedung rektorat. Daripada kampus lain, gedung pusat Kampus Universitas Taruna Jaya itu nampak biasa-biasa saja. Tidak terlalu besar, apalagi memiliki bentuk yang unik. Walau Naela sempat mendengar akan ada renovasi, ia tak terlalu peduli sebab dirinya lebih suka kondisi gedung dengan satu lantai seperti ini karena memudahkannya sampai ke tujuan.
"Mbak Naela?" Gadis itu sedikit tersentak ketika sebelah tangannya bersiap mengetuk pintu. Dia menoleh ke kiri, lalu mendapati Pak Gandi--Wakil Rektor 3 berjalan ke arahnya.
"Mau ketemu saya, kan?" tanya lelaki yang usianya memasuki kepala empat itu.
"Iya Pak. Saya mau menindaklanjuti obrolan kita tempo hari, mengenai konferensi nasional di Bandung yang sudah pasti terlaksana seminggu lagi."
Naela menangkap perubahan ekspresi sang Wakil Rektor. Hal itu membuatnya dilanda cemas. Setelah keduanya masuk ke dalam ruang, gadis itu masih harus menunggu cukup lama untuk kembali berbincang sebab Pak Gandi tiba-tiba menerima panggilan telepon entah dari siapa.
Begitu Pak Gandi meletakkan ponsel di atas meja, detak jantung Naela berdegup tak terkendali. Dia berusaha menetralkannya dengan cara melawan segala pikiran buruk yang nyaris mendominasi benaknya. Kendati kecil kemungkinan Naela bakal menerima jawaban sesuai harapannya, terang-terangan menunjukkan bahwa ia sedang gusar--bukan pilihan yang tepat.
"Kampus hanya mengizinkan satu perwakilan yang berangkat, Mbak."
Naela tersenyum getir. "Boleh saya tahu alasannya, Pak? Karena saya pikir pendapat saya dua hari lalu cukup menjadi bahan pertimbangan kampus untuk menyetujui permintaan saya."
"Jangan berpikir yang macam-macam dulu. Gagasan Mbak Naela sangat kami terima dengan baik. Hanya saja, melihat situasi saat ini, tanpa menjelaskan panjang lebar pun saya yakin Mbak Naela juga paham mengapa kami mengambil keputusan seperti itu."
Naela mengerti kemana arah pembicaraan Pak Gandi. Untuk beberapa menit, keadaan menjadi hening. Hanya terdengar keramaian di luar gedung yang menelusup masuk menembus dinding. Sembari menggali jawaban yang tepat guna mempertahankan ambisi, gadis itu mengedarkan pandangannya ke tiap sisi ruang. Dia sama sekali tidak peduli pada ponsel yang berada di genggamannya.
Tiba-tiba Pak Gandi beranjak. Bola mata Naela praktis mengekori langkah Warek 3 itu lantaran ia cukup khawatir akan ditinggalkan begitu saja tanpa sempat mendiskusikan solusi yang sekiranya dapat mengamankan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN PRESMA
FanfictionWaktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai presiden mahasiswa adalah suatu hal yang tepat. Sebab ia sangat yakin jika teman-teman yang memilihnya akan bersama-sama membantunya memperbaiki pondasi serta memperkokoh pilar orga...