21. Kongres

204 11 14
                                    

Terhitung sepuluh kali Naeka menekan-nekan pelipisnya sendiri. Dia berharap, dengan melakukan itu nyeri kepalanya akan berkurang dan berangsur membaik. Seiring dekatnya pelaksanaan kongres, waktu istirahat yang ia miliki kian menipis. Pemuda itu tak bisa membiarkan rekan-rekan panitia mempersiapkan acara tanpa dirinya.

Naeka melirik jam besar yang menempel di dinding. Hela napas berat ia ambil begitu menyadari jika waktu semakin larut, sementara kursi-kursi di hadapannya masih belum tertata rapi. Dia mengedarkan pandangan. Nyaris tiap sudut ruang terisi oleh insan-insan yang tengah mengistirahatkan tubuhnya.

"Pusing, Pres?" Naeka spontan menoleh. Ia dapati seorang lelaki berwajah lesu yang tak lain adalah wapresma-nya sendiri.

"Lumayan. Udah jam 10 tapi persiapan masih belum rampung semua. Anak-anak juga kelihatan capek banget."

"Wajar, Pres. Kita cuma punya waktu kurang dari dua minggu untuk mempersiapkan kegiatan yang berlangsung selama empat hari. Ini aja bisa berjalan baik karena dapat bantuan dari temen-temen BEM fakultas."

Tak ada yang salah dari ucapan Anwar. Kongres yang semestinya diselenggarakan selama dua hari, berubah menjadi empat hari karena perombakan susunan acara. Alhasil, mau tidak mau, mereka sebagai tuan rumah harus bekerja lebih keras demi terlaksananya sebuah pertemuan penting yang mampu memenuhi harapan semua orang, terutama pimpinan Universitas Harsa Bentala yang secara langsung menemui Naeka siang tadi.

"Makin berat karena harus nanggung ekspektasi Rektor," keluh Naeka. Dia ingat betul bagaimana orang nomor satu di kampus-nya itu mewanti-wanti agar dirinya sebisa mungkin meminimalisir kesalahan, sehingga para tamu nanti tidak pulang membawa keluhan.

Anwar terkekeh. "Lagian, tumben-tumbenan Pak Rektor turun tangan sendiri? Bukannya biasanya kurang peduli? Jadi keinget bulan pertama kita ngejalanin tanggung jawab ini."

"Yang kita demo menolak kenaikan uang pangkal itu?" Pemuda itu tergelak. Tak berselang lama, suara tawa Anwar mengikuti.

"Nah! Perkara demo menolak kenaikan uang pangkal aja--kegiatan kita dibekukan sekitar sebulanan. Makanya aku kaget sekaligus penasaran, kenapa beliau tiba-tiba memberi dukungan untuk acara kita yang satu ini?"

"Demi nama kampus, mungkin. Kan kalau acaranya lancar dan sukses, orang-orang bakal menilai kualitas sumber daya mahasiswa kampus kita-bagus. Imbasnya juga ke nama beliau sebagai pemimpin kampus ini. Beliau bahkan secara sukarela menawarkan bantuan seperti mengundang beberapa pejabat daerah. Keren, nggak?"

Riuh tepuk tangan Anwar mengudara tanpa diperintah. Lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak itu menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum lebar.

"Jadi curiga, suntikan dana-nya pasti juga lancar jaya ini?"

"Kalau soal itu ... ya semoga aja cukup sampai kongres selesai." Naeka terdiam sebentar. Berbicara soal uang, sesuatu terlintas dalam benaknya. "Pak Wapres, aku boleh minta tolong?"

"Apa Pres?"

"Tolong belikan makanan untuk anak-anak. Rencanaku, kita makan dulu, setelah itu nata kursi lalu pulang."

"Seriusan pulang?"

"Iya. Aku nggak tega lihat mereka kecapekan kayak gitu. Nggak papa biar aku dan beberapa orang aja yang bermalam disini. Aku bisa pulang besok pagi buat mandi dan ganti baju."

"Aku juga ikut nginep kalau gitu."

"Nggak usah, nggak papa. Rumah Pak Wapres agak jauh. Mending istirahat di rumah biar besok mukanya seger pas acara mulai. Seenggaknya kalau muka Presma-nya lesu, Wapresma-nya jangan. Kasihan yang lihat nanti," ujar Naeka berseloroh. Detik berikutnya, dia merogoh saku celananya. "Ini uangnya. Kalau bisa, jangan lama-lama, ya. Cari warung terdekat aja."

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang