22. Resmi

196 13 11
                                    

Suara tepuk tangan mengudara seiring langkah Naela menjauhi mimbar. Gadis itu baru saja selesai melakukan sambutan sebagai presiden mahasiswa untuk kali pertama di hadapan banyak orang.

Dari jarak yang cukup dekat, ia lihat Bayu mengacungkan dua ibu jari sembari tersenyum penuh ke arahnya. "Kalimatku amburadul, nggak? Aku kelihatan gugup banget, nggak? Suaraku kedengeran aneh gitu, nggak, sih?" cerca Naela begitu dia duduk di samping wapresma-nya.

Bayu masih bungkam. Ia memilih menyerongkan badan demi memperhatikan Naela yang kini bergerak gelisah.

"Duh, kok nggak selesai-selesai sih groginya?" gumam Naela setelah berkali-kali menarik napas panjang.

Tanpa permisi, Bayu menyentuh punggung tangan gadis itu. Sang empu praktis menoleh, tapi dengan sengaja Bayu malah memberikan usapan lembut disana.

"Kamu keren," ucapnya lirih. Dia menatap lekat manik mata si gadis. "Semua yang kamu omongin di depan tadi, kalimatnya tertata rapi dan sampai ke audiens dengan baik. Jadi nggak ada yang perlu kamu cemasin."

Saat Bayu ingin mengubah usapan itu menjadi genggaman, Naela segera menarik tangannya. Debar jantung gadis itu bertambah cepat. Dia membuang pandangannya kemana pun--asal tidak memandang Bayu yang tetap menatapnya tanpa jeda.

"Masih deg-deg-an?" tanya pemuda itu seperti tak ada yang terjadi.

'Yo jelas! Tanganku dielus-elus koyok ngunu mosok iso aku biasa ae?' jawab Naela dalam hati.

"Nae?" Bukannya menyerah, Bayu malah merapatkan kursi mereka. "Kamu baik-baik aja, kan?"

"Ingat aturan, ingat aturan. Dilarang cinta lokasi," celetuk Akbar menginterupsi.

Keduanya praktis membawa atensi pada keberadaan lelaki itu. Akbar yang duduk tepat di belakang Naela, sontak menegang kala Bayu memberinya tatapan tajam. Sementara Naela, tanpa sengaja ia saling bertemu pandang dengan Hisyam yang berada di belakang Bayu. Sorot mata pemuda itu seakan menahannya agar diam lebih lama.

Sayangnya, hal itu disadari oleh Bayu. Dengan sigap dia menyentuh pipi kanan Naela, lalu mendorongnya pelan agar kembali menghadap ke depan.

"Acaranya udah mau selesai. Habis ini sesi pemberian selamat. Nggak lucu kalau Presma-nya malah noleh sana-sini kayak orang kebingungan," jelasnya, tatkala sang gadis menyodorkan raut penuh tanya.

Sekian menit berikutnya, dua insan yang telah resmi dilantik sebagai presma-wapresma itu beranjak menuju ke depan panggung untuk menerima ucapan selamat.

Naela dan Bayu berdiri sejajar membalas uluran tangan orang-orang. Menyaksikan itu, Akbar menyenggol lengan Hisyam. "Aku wani taruhan, pasti arek loro iku pacaran nek wes demis engko," katanya dengan nada provokasi.

Hisyam geming. Dia bahkan tak berselera memandang lelaki yang terus mengoceh itu. Benaknya sibuk menerka-nerka sesuatu, sampai tiba giliran mereka ikut meninggalkan kursinya.

"Ancen jaman saiki bahaya, cok! Lengah setitik, kalah start karo wong liyo."

Akbar yang baru berjalan melewati Hisyam, praktis mengaduh saat kepalanya ditoyor dari belakang. Dia hendak melayangkan protes, tapi urung ketika temannnya itu tiba-tiba merangkulnya sembari tersenyum tanpa dosa.

"Ibarate ngene wir ... awakmu lebih ganteng, tapi belum tentu menang. Kok iso?" Hisyam menjeda kalimatnya. Dia melirik Akbar sekilas demi melihat raut serius pemuda itu. "Coba takono nang mbak google. Aku podo nggak ngerti jawabane," ia lantas pergi begitu saja.

"Jwaaangkrek!" Merasa dipermainkan, Akbar kelepasan mengumpat. Kalau saja mereka sedang tidak berada di acara formal, ia bisa memastikan dapat membalas toyoran itu dua kali lipat.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang