14. Jeda

152 10 0
                                    

Pertengahan bulan kedua setelah pemilihan, Naela sengaja menyisihkan waktu dua hari untuk ia habiskan bersama Sisil disela rumitnya urusan organisasi. Dibawah redupnya lampu balkon, keduanya berbincang lirih sembari memangku toples berisi kue bawang buatan ibu Sisil.

Sebenarnya obrolan mereka tidak selaras dua arah. Sebab sedari tadi hanya Sisil yang mengoceh tiada habisnya. Naela sama sekali tak membahas apapun tentang dirinya. Gadis itu memilih diam mendengarkan sahabatnya bercerita tentang kisah pendekatannya dengan seorang pria dari kampus sebelah.

Sejenak, Naela berhenti mengunyah. Gadis itu mendongak hanya untuk menjumpai sang rembulan perlahan ditelan awan hitam. Bintang-bintang pun menghilang. Entah kenapa tiba-tiba ada yang berdesir dalam hatinya. Seakan jiwanya merasa pilu menyaksikan langit benar-benar diselimuti kegelapan pekat.

"Tar," panggil Naela. "Kok aku tiba-tiba kangen Hisyam yaa?"

Mulanya, Sisil hanya berhenti bicara. Dia menoleh dan menemukan raut wajah Naela dipenuhi kesuraman. Hingga kejadian berikutnya menggaduhkan suasana syahdu yang sejak tadi melingkupi keduanya. Tanpa permisi Sisil menepuk keras pundak gadis itu.

"HEI, SOPO WAKMU?" seru Sisil menatap nyalang.

Diperlakukan seperti itu, tentu Naela terkejut. Dia terdiam sesaat seolah tengah meresapi rasa sakit akibat gaplokan tangan sahabatnya. Detik selanjutnya, Naela mendelik lantas menaruh toples dan merubah posisinya menghadap Sisil.

"JANGKRIK! MBOK KIRO AKU KESURUPAN, TAH?!" pekik Naela.

Sisil tidak menjawab. Dia justru memandang ragu Naela dari atas ke bawah.

"Kamu beneran Naela?"

"Bukan. Aku dedemit." jawab Naela asal.

"Nae, aku nggak guyon!" Tersirat ketakutan dari suara Sisil. Perempuan itu mengusap lengannya karena merasa bulu kuduknya berdiri.

Sementara Naela, gadis itu tak berekspresi apapun. Dia pandangi balik sahabatnya dengan sorot mata kosong. Suasana mendadak hening. Menyisakan bunyi hewan malam di kejauhan yang terdengar saling bersahutan.

Malam semakin larut. Tentu Sisil tak mampu menepis gelisah akibat sikap Naela yang tidak wajar baginya. Terlebih keberadaan pohon pisang disamping rumah, makin-makin menciutkan nyalinya. Dengan perasaan gamang, perempuan itu kembali menatap gadis dihadapannya. "Nae, aku serius loh Nae." Tuturnya pelan.

Sisil yang tak lagi sanggup bersuara, membiarkan manik matanya beradu tatap dengan milik Naela yang masih tampak hampa. Perempuan itu menggertakkan gigi sebagai pengalih rasa takut yang semakin menjadi-jadi. Rasanya, waktu sungguh berjalan melambat.

Cukup lama mereka hanya saling pandang, Sisil dibuat terperangah karena tiba-tiba melihat mata Naela menyipit diikuti suara tawa yang menggelegar. Dia mengusap pelan dadanya sembari memperhatikan Naela yang kini justru tertawa terpingkal-pingkal.

Disela tawanya, Naela berujar sesuatu namun tak terdengar jelas oleh Sisil. Perempuan itu bergidik ngeri lantas meraih bantal kecil yang akan dia timpukkan pada sahabatnya itu. Tetapi, bukannya berjalan sesuai rencana, gerakan Sisil terhenti karena lampu mendadak mati. Sekali lagi suasana menjadi hening.

Dalam gelap Naela meraba ke sembarang tempat. Hingga gadis itu berhasil menemukan ponsel miliknya kemudian buru-buru menyalakan senter.  Perlahan dia mulai menyisir tiap arah dengan bantuan cahaya digenggamannya. Benar-benar gelap gulita, pikirnya. Sejauh ia memandang, sedikit pun Naela tak menemukan cahaya yang berpendar.

"Tar, kok moro-moro padam ngene yo?"

"Aku nggak ngerti pisan."

Karena suara Sisil terdengar tertahan, Naela segera mengarahkan ponsel padanya dan mendapati Sisil tengah meringkuk ketakutan ditempatnya.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang