5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an

202 15 0
                                    

Setelah melalui hari Minggu panjang yang nyaris ia habiskan hanya dengan rebahan di atas kasur, Naela kini memantapkan hatinya untuk menghadiri rapat pemilihan. Hanya menghadiri. Gadis itu membulatkan tekad hendak menolak maju sebagai Presma. Ia akan menyampaikan secara langsung alih-alih memilih tidak hadir. Sebab mau bagaimanapun, Naela merasa jika ia bertanggung jawab atas namanya yang terlanjur tertera di file yang ia terima tempo hari.

Dari banyaknya saran yang Naela terima, kalimat panjang milik Ayah lah yang mampu menuntunnya menemukan keputusan final.

Kemarin, di tengah kerisauan hati yang tak kunjung menemui jalan keluar, gadis itu berinisiatif menghangatkan perutnya dengan semangkuk mie kuah rasa soto lengkap dengan dua ceplok telur diatasnya, juga irisan cabai rawit yang mengambang seolah meminta agar di eksekusi lebih dulu.

Saat sedang terbuai oleh gurihnya kuah mie yang ia nikmati, Naela berjengit kala sebelah pundaknya di tepuk pelan oleh seseorang. "Masak mie kok nggak ngajak-ngajak Ayah?" ujar seorang lelaki paruh baya membuat Naela membalik badannya setengah.

"Loh, Yah. Astaghfirullah!! Ayu pikir tadi Ibuk," ucap Naela mengelus pelan dadanya.

"Emang kenapa kalau Ibuk?"

"Nih!" Gadis itu menunjuk sekumpulan potongan cabai rawit yang masih setia mengapung, membuat Ayah terkekeh pelan. "Kamu ini! Udah tahu punya asam lambung, masih aja makan pedes-pedes kayak gitu."

Naela tak menggubris. Ia kembali menyendokkan kuah ke mulutnya sembari mengusap keringat yang membasahi area pelipis. Bahkan saat Ayah memilih duduk di sampingnya dan menyodorkan tisu, gadis itu masih enggan menyudahi kegiatan menyeruput kuah yang berakhir ingusnya banyak keluar.

"Ayah berapa hari di rumah?" celetuk Naela, saat ia merasa sudah tak sanggup lagi menghabiskan sisa kuah.

Ayah meraih toples bening berisi kerupuk udang. "Besok Ayah udah balik lagi."

"Kok cepet?"

"Ya karena rencana Ayah memang bukan pulang Minggu sekarang ini."

Naela spontan mengernyit. Batinnya mendadak sesak ketika memikirkan bagaimana lelahnya sang Ayah yang harus pergi ke luar kota lagi. Namun, detik berikutnya hati gadis itu seperti tergelitik sebab tak sengaja mendapati remahan kerupuk bersarang di kumis tebal Ayahnya yang berwarna hitam pekat.

"Gimana ngajarnya? Lancar?" tanya Ayah membuyarkan perhatian Naela.

Kontan gadis itu mengacungkan ibu jarinya. "Aman," jawabnya, lantas meraih satu kerupuk udang berukuran lebih lebar dari yang Ayah pegang.

"Kata Jidan kamu mau jadi presiden. Beneran?"

Gerakan tangan Naela terhenti seketika. Pertanyaan Ayah terlalu mengejutkan baginya. Lebih-lebih tidak lengkap. Orang yang mendengar mungkin akan salah paham mengira Naela sungguh mau menjadi seorang presiden.

"Presiden mahasiswa, Yaahh!!" koreksinya dengan nada merengek. "Kapan Jidan bilang?"

"Tadi pagi. Waktu dia tiba-tiba bikinin Ayah kopi."

Ada udang di balik bakwan. Pasti Zidan menginginkan sesuatu hingga repot-repot membuatkan Ayah kopi di pagi hari. Asumsi itu seolah terpatri jelas dalam benak Naela mengingat Zidan adalah penghuni paling malas di rumah. Bocah tengik itu hanya akan melakukan sesuatu tanpa diminta jika ia memiliki sebuah permintaan agar dituruti dengan mudah.

Namun, karena kali ini Zidan membawa nama Naela tanpa permisi, sudah selayaknya gadis itu bereaksi. Meski biasanya ia akan memilih tak acuh dan membiarkan adiknya berbuat sesuka hati asal tidak merugikan warga gang melati.
"Jidan minta apa, Yah?" tanyanya tanpa basa-basi.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang