Bagi seorang Hisyam Arya Danuraksa, tidak ada yang lebih menyebalkan dari melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Selain berpotensi merusak suasana hati, ia dapat menjamin bahwa hal tidak menyenangkan akan terjadi. Seperti pagi ini, kedua ban motornya bocor sepulang mengantar Ibu ke rumah bude yang berada di kecamatan berbeda.
Sambil menuntun kendaraan roda dua itu, tak henti-hentinya ia menggerutu. Terlebih saat mengetahui penyebabnya adalah paku-paku yang berserakan di jalan.
"Sek isuk ono-ono ae, cok!"
Di bawah deretan pohon yang cukup rindang, ia berniat menepi sejenak. Pemuda itu berkacak pinggang sembari menghembuskan napas kasar. Diantara puluhan kendaraan yang meramaikan jalan di hadapannya, Hisyam mengasihani dirinya sendiri yang sembrono meninggalkan ponsel dan dompet di rumah.
Selain itu, ia juga menyesali pilihannya melewati jalan besar, alih-alih jalan tikus yang dilalui saat berangkat tadi. Kini Hisyam dilanda bimbang. Jika kembali ke Ibu untuk meminta ongkos, ia bahkan telah menempuh lebih dari setengah jalan. Jika terus mendorong motor hingga ke rumah, maka dua hal yang akan ia dapatkan; badan encok dan telat menghadiri rapat kerja.
Memikirkan rapat kerja, pemuda itu semakin merasa kesal. Pasalnya, berlaku sejak kemarin, ia resmi mengibarkan bendera perang sebagai tanda siap bersaing penuh dengan pemuda bernama Abibayu Hilman Natawijaya. Kalau hari ini dia datang terlambat, harga dirinya terasa berkurang seperempat.
"Iki sing nduwe bengkel sunat kabeh koyok e. Wes awan nggak mbukak-mbukak. Padahal aku iso ngutang disek," omelnya dalam hati. Dia khawatir dianggap mengidap gangguan jiwa jika berbicara sendiri di pinggir jalan.
Pada akhirnya, lelaki yang saat ini mengenakan celana training dan hoodie warna hitam itu kembali mendorong motor setelah melakukan peregangan otot sebentar. Setidaknya, mempertahankan eksistensi Bayu dalam benak, membuatnya bersemangat untuk sampai ke tujuan.
Sekitar sepuluh menit Hisyam melangkah, seseorang memanggil namanya dari samping kanan. Dia praktis menoleh. Kedua matanya melebar kala menemukan sang mantan yang sedang mengendarai motor--tengah menatapnya dengan raut kebingungan.
"Hisyam? Bener, kan?" Barusan Ratna hanya menebak dari bentuk badan, karena wajah pemuda itu nyaris tak terlihat dari tempatnya berada. Tetapi saat Hisyam menoleh, gadis itu merasa lega sebab intuisinya tidak salah.
Lantaran yang disapa buru-buru memalingkan muka, Ratna menarik gas motor kemudian berhenti tepat di depan Hisyam. Dengan begini pemuda itu kehilangan kesempatan untuk lari darinya.
"Motor kamu kenapa?"
Situasi semacam ini membuat Hisyam kewalahan. Bertemu mantan disaat dia membutuhkan bantuan, tidak sekalipun ada di dalam daftar keinginannya. Seandainya Bayu juga muncul sekarang, Hisyam akan berusaha menekan gengsinya agar laki-laki itu mau menolongnya.
Apapun itu, asalkan ia bisa segera menjauh dari Ratna.
Keterdiaman Hisyam rupanya tidak menyurutkan tekad sang mantan. Jantungnya berdegup kencang tatkala perempuan pemilik masa lalu-nya turun dari motor kemudian menghampirinya.
"Syam, motor kamu kenapa?"
"Ban bocor," jawab Hisyam datar.
"Kok bisa?"
"Kena paku."
"Kamu nggak capek dorong motor kayak gitu?"
"Enggak. Cuma kayak mau mati aja rasanya."
Ratna berdecak. Sekian detik berikutnya, dia merogoh tas lalu Hisyam lihat gadis itu mengeluarkan sebuah ponsel. Cukup lama ia hanya disuguhkan pemandangan seorang gadis yang tengah sibuk bergelut dengan benda pipih di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN PRESMA
FanfictionWaktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai presiden mahasiswa adalah suatu hal yang tepat. Sebab ia sangat yakin jika teman-teman yang memilihnya akan bersama-sama membantunya memperbaiki pondasi serta memperkokoh pilar orga...