27. Konferensi Nasional

134 11 12
                                    

Hangat mentari menyelentik Naela yang tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Lantas ia melirik ke kanan, memastikan presensi seseorang. Seseorang yang membantunya bertemu kemudahan untuk pergi ke konferensi nasional.

Pekan lalu, Naela praktis menolak keinginan Bayu untuk menemaninya. Selain karena berusaha bersikap adil--sebab Hisyam tak ia izinkan, bayangan tentang gadis yang kala itu datang saat rapat kerja masih bersemayam dalam benaknya. Tatapan yang menyiratkan ketidaksukaan itu selalu muncul saat ia bertemu si Wapresma. Kalau sampai mereka berangkat ke Bandung berdua, entah bentuk masalah seperti apa yang akan gadis itu dapatkan.

Bukan bermaksud tak profesional. Naela hanya meminimalisir kemungkinan bertandangnya beban pikiran.

Ketika ia mantap menjadi perwakilan satu-satunya, persoalan lain menyusul dan kembali membawanya pada titik kegelisahan. Sebenarnya, sejak awal Naela menduga kalau izin Ibu tak akan mudah ia dapatkan. Tetapi tak pernah terpikirkan olehnya bahwa sesulit itu. Bahkan menyodorkan nama-nama orang yang ada di aliansi BEM PTS Surabaya masih tak mampu melunakkan pendirian Ibu.

Makin hari Naela makin cemas. Bukan preferensi tepat kalau dia tiba-tiba menarik pernyataannya sebab hal itu berpotensi mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin. Alhasil, ia mulai melancarkan sebuah strategi guna mengatasinya. Jika biasanya gadis itu lebih sering bermalas-malasan, demi memperoleh izin dia rela membersihkan setiap bagian rumah selama beberapa hari.

Bagian yang membuat seisi rumah--selain Ayah--keheranan, saat Naela mencuci pakaian semua orang, tanpa mesin cuci, karena kebetulan sedang rusak. Sepanjang menjalaninya, dia berupaya meredam sentimen negatif yang seolah menuntut untuk diluapkan. Berpegang teguh pada tujuan utama, ia bertahan pada tekadnya.

Nahas, usaha yang Naela lakukan tak membuahkan hasil yang diinginkan. Ibu sama sekali tak terpengaruh olehnya. Ditambah kelakuan sang adik yang pandai memanfaatkan kesempatan, menyebabkan dia menyerah dan berakhir kembali ke setelan awal. Lagi, Naela berada di ambang keputusasaan.

Di hari berikutnya, siapa sangka bantuan justru datang melalui jalur keceplosan. Ketika Naela dan Naeka terlibat komunikasi jarak jauh untuk membahas keberangkatan mereka ke Bandung, tanpa sengaja si gadis membeberkan kekalutan yang tengah dirinya hadapi. Kalimat resah itu memang tak terungkap sempurna. Tapi karena si pendengar adalah Naeka Adhyaksa Pangalila, bukan perkara mudah untuk melepaskan diri begitu saja, atau sekadar pura-pura tak tahu kalimat yang telah terlontar. Pilihannya ada dua; merinci kesulitan tanpa diminta, atau dicecar pertanyaan penguras alasan.

Dan Naela memilih yang pertama.

Tak berselang lama, terlihat Naeka melangkah panjang dari arah Naela memandang. Gadis itu keheranan, tapi perasaan takjub menyaksikan penampilan Naeka yang menawan menerobos meraih posisi utama.

Pagi ini, Naeka mengenakan t-shirt putih yang dibalut blazer abu-abu dengan celana senada. Lalu saat Naela menurunkan pandangannya, ia temukan sepasang sneakers dengan kombinasi warna yang sama turut menunjuang penampilan sang rekan. Saat jarak diantara mereka terpangkas banyak, Naela sungguh terkesima ketika netranya mulai memperhatikan kepala si Presma Harsa Bentala. Dia tak tahu kapan Naeka memangkas rambutnya, yang jelas, potongan model comma hair--yang belakangan ini menjadi favoritnya--begitu pas bagi pemuda itu.

'Tapi tunggu sebentar! Apa-apaan ini? Kenapa Naeka berpakaian se-formal itu padahal mereka hanya akan berada di dalam mobil selama berjam-jam? Menyusuri panjangnya jalan tol yang rentan memicu kebosanan.'

"Pres?" Naela mengerjap. Dia terkejut Naeka mendadak ada di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, Naela benar-benar bisa melihat jelas betapa segarnya wajah Naeka di pagi hari--nyaris menyamai bau parfum beraroma lemon yang menyerang cuping hidungnya.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang