18. Alter(n)atif

153 11 7
                                    

Keduanya tiba di sebuah kafe mini terdekat dari tempat mereka berbincang tadi. Alih-alih berjalan beriringan, si gadis lebih memilih membuntuti Naeka hingga mereka berada di depan meja kasir.

"Bu Pres mau pesan apa?" Si lelaki menyerongkan badan.

"Es teh aja kali ya," jawab Naela tampak ragu.

"Yakin?"

Pertanyaan Naeka memang terdengar biasa-biasa saja. Tapi bagi Naela yang terlanjur menganggap pria itu menyebalkan--tentu memiliki esensi yang berbeda.

"lychee ice tea, deh," putusnya seraya menatap deretan menu yang terpampang di tembok belakang kasir.

"Makan?" Dengan cepat Naeka melayangkan pertanyaan lagi. Masih dengan posisi semula, sama sekali pemuda itu tak mengalihkan pandangan dari gadis yang kini balik menatapnya.

Naela menggeleng. "Enggak! Saya sudah makan."

"Camilan?"

"Minum saja sudah cukup, Pres."

Naela sedikit bernapas lega ketika Naeka mengangguk samar sebagai tanda mengerti. Jika boleh jujur, ia ingin segera pulang dan melupakan segalanya yang terjadi saat ini. Gadis itu kurang nyaman berada dalam situasi dimana dirinya harus melawan rasa canggung seperti sekarang. Belum lagi saat Naela mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar minumannya, justru penolakan yang ia terima dengan dalih karena pemuda itu yang mengajak--otomatis dia yang akan membayar semua.

Selepas membereskan urusan di kasir, Naeka mengajak Naela melangkah ke meja yang ia pilih. Letaknya di tengah-tengah. Sangat tidak sesuai dengan selera Naela yang terbiasa memilih salah satu penjuru. Namun, untuk kali ini dia bisa menerima sebab setelah netranya mengedar--sudut-sudut kafe ini ternyata telah terisi seluruhnya.

"Jadi, Pres Nana mau ngomong apa?" Selagi menunggu minuman, Naela berinisiatif menyodorkan pertanyaan agar perasaan grogi tak terlalu mendominasi dirinya.

Sedangkan Naeka, dia cukup terkejut mendengar panggilan itu. Sebab selama ini, hanya Nabila yang memanggilnya Nana. Walau sejujurnya ia keberatan, demi sang pacar ia selalu berusaha terbiasa. Dan sekarang malah ada yang mengikutinya.

"Nana?" tanyanya menaikkan kedua alis.

"Iya." Naela mengangguk, "di pinggir jalan tadi Pres Nana bilang kalau pengucapan nama kita berbeda, kan? Karena itu saya panggil Pres Nana."

"Oh, iya iya." Gantian Naeka yang mengangguk. "Soalnya rekan-rekan lain biasa manggil saya Pres Yaksa atau Pres Eka. Tapi terserah saja sudah mau panggil saya dengan nama yang mana saja."

Suasana kembali asing. Sebab hanya senyum tipis yang mampu Naela beri untuk merespon ucapan manusia di hadapannya. Suara-suara pengunjung lain seolah menerobos masuk menemani keheningan yang tercipta diantara keduanya. Bagai penawar kesenyapan, seorang laki-laki hadir membawa nampan berisi minuman yang mereka pesan di kasir tadi.

Bola mata Naela membelalak saat menemukan benda lain--selain dua gelas yang seharusnya ada di atas meja. Tiga piring yang turut berjejer tak beraturan, tampak terisi oleh camilan berbeda yang cukup menggugah selera. Gadis itu meneguk saliva. Netranya memindai tiap piring secara bergantian.

Menyadari ekspresi perempuan di seberang meja, Naeka ingin tersenyum. "Saya rasa kita butuh sedikit camilan sebagai teman ngobrol, Pres." Katanya, membuat Naela praktis mendongak.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang