24. Tiga Frekuensi Rasa

280 16 3
                                    

Naela praktis menaikkan kaca helm-nya begitu dia melewati gerbang kampus swasta terbesar di Kota Surabaya. Berbeda dari kedatangannya bersama Hisyam sekitar seminggu yang lalu, hari ini jalanan tampak lengang saat gadis itu membawa motornya dengan kecepatan rendah. Mungkin karena hari Minggu, hari dimana mahasiswa reguler tak memiliki jadwal kuliah.

Taman-taman fakultas yang ia lalui hanya menyisakan kursi besi tanpa penghuni. Kemudian dari kejauhan netranya menangkap dua gazebo yang berada di ujung persimpangan--di depan salah satu sudut gedung bertingkat. Gadis itu tersenyum sebab setelah ini ia cukup belok kanan untuk sampai ke tempat tujuan--sesuai intruksi Gilang di pesan tadi.

Sialnya, semakin dekat, semakin tak terkendali detak jantungnya. Apalagi ketika dia selesai memarkirkan kendaraan roda dua miliknya. Naela terpaksa menghentikan langkah sebentar demi mengurangi gugup yang perlahan menguasai diri.

Belum sampai 10 menit dia berdiri di sana, telinganya menangkap jelas riuh sorakan yang bercampur tepuk tangan. Naela kian menajamkan pandangannya ke arah gedung besar dengan kombinasi warna putih dan abu-abu pekat--yang berjarak sekian meter dari tempatnya berada.

Gadis itu menarik napas panjang, lalu perlahan-lahan menghembuskannya melalui mulut. Dia mendadak sangsi kalau-kalau kehadirannya justru berpotensi merusak suasana kongres di hari terakhir ini. Tetapi rasanya juga mustahil seandainya ia memilih kembali, sebab satu rekan presma-nya terlanjur tahu jika ia akan hadir.

"Permisi." Naela nyaris melompat saat suara seseorang tiba-tiba menyeruak diantara hembusan angin. Ia lantas berbalik dan menjumpai seorang gadis cantik berwajah teduh sedang menatapnya penasaran.

"Peserta kongres, ya?"

Yang ditanya masih mematung. Naela terlalu larut menelisik paras ayu di hadapannya. Sepasang nayanika besar yang memikat, bibir plump yang membuatnya betah memandang lama, bentuk hidung yang pas, dan apa ini? Perempuan itu bahkan terlihat sangat cantik dan modis hanya dengan balutan gaya kasual. Diam-diam Naela berpikir, apa yang akan dia lakukan jika memiliki wajah seperti ini?

"Halo." Gadis rambut sebahu itu melambaikan tangan di depan wajahnya.

Detik itu juga Naela tersadar dari lamunannya. Diawali senyum kikuk dia kemudian membuka suara.

"Iya, tapi saya dari kampus lain."

"Udah kelihatan dari almetnya kok."

Bodohnya Naela malah memeriksa pakaiannya sendiri. Dia memejam kuat karena merasa malu, namun lekas mendongak hanya untuk menunjukkan cengirannya. Siapa sangka gadis yang tidak ia kenal itu malah tetap tersenyum ramah.

"Mau ke sana, kan? Ayo bareng!"

Merupakan pilihan yang keliru apabila Naela menolak ajakan itu. Sebab sejujurnya, penyebab utama timbulnya rasa gugup dalam dirinya adalah karena tidak siap bertemu rekan-rekannya--sendirian. Nyaris semalaman ia habiskan waktunya untuk menimang-nimang keputusan. Jadi ketika bantuan seperti ini datang, sudah semestinya tidak ia sia-siakan.

Sepanjang keduanya menapaki ruas jalan kecil itu, obrolan demi obrolan ikut tercipta. Topik pembicaraan mereka hanya berkutat pada aktivitas kampus dan bangunan-bangunan yang tertangkap mata. Sampai akhirnya salah satu teringat akan satu hal.

"Oh iya, kita belum kenalan." Gadis cantik itu berhenti, membuat Naela spontan mengikuti. "Aku Nabila," ungkapnya mengulurkan sebelah tangan.

"Naela." Detik dimana mereka berjabat tangan, Naela menyadari perubahan sorot mata Nabila. Tidak secerah tadi, tapi ia juga kesulitan memaknai.

Bersamaan dengan dirinya yang mulai menepis pikiran asing sejauh mungkin, mereka melanjutkan langkah. Rasanya bukan hal benar jika Naela seenaknya menyimpulkan sesuatu mengikuti kepekaan diri--sementara dia baru bertemu gadis ini beberapa menit yang lalu. Karena sedikit merasa bersalah, ia memalingkan wajah ke samping kiri. Dilihatnya Nabila sedang menatap lurus ke depan. Naela tak ingin menerka-nerka tentang apa yang gadis itu rasakan kendati helaan napas berat yang tak sengaja ia dengar seperti menyiratkan sebuah beban yang selama ini mendekam dalam benak.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang